Siang hari yang terik pada Selasa (26/3/2019) itu. Saya membeli dua botol minuman dingin di sebuah minimarket di samping kampus Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Satu langsung saya minum di depan minimarket.
Sebotol lagi saya berikan kepada abang pengemudi ojek yang sudah menunggu. Ia tak langsung meminumnya. Ditaruhnya minuman itu di wadah dekat kemudi sepeda motor matic-nya. Lalu kami segera berangkat.
Tujuan saya ke Stasiun Besar Purwokerto. Jaraknya agak jauh sehingga ada senjang waktu yang lumayan selama perjalanan. Sepanjang itu pula lahir obrolan ringan khas tukang ojek masa kini dan penumpangnya.
"Ini saya beruntung mas, nggak lama daftar (Gojek) akhirnya dipanggil juga", kata abang Gojek itu. Memang melihat jaketnya yang masih mulus dan warna hijaunya yang masih "ngejreng" saya pun menduga bahwa ia masih baru.
Obrolan terus berlanjut hingga menyinggung soal praktik jual beli dan penyewaan akun Gojek. Abang Gojek mengatakan kalau tidak sedikit orang yang berharap bisa bekerja kemudian mendaftar ke Gojek, tapi harus menunggu lama untuk dipanggil manajemen. Beberapa ada yang tidak sabar dan mungkin karena terdesak kebutuhan, akhirnya menyewa akun Gojek.
"Lho memang bisa disewa, Pak?", tanya saya penasaran.
"Wah, sekarang yang namanya akun bisa dijual, mas. Apalagi kalau cuma disewa", jawab Abang Gojek.
Ia lalu menyambungnya dengan penjelasan yang membuat saya agak kaget. Beberapa mitra Gojek yang malas ternyata memilih menyewakan akunnya.
Biaya sewanya terbilang lumayan. Namun, tetap saja ada yang mencari karena sama-sama "menguntungkan". Si pemilik akun mendapatkan uang dari penyewa, sedangkan si penyewa bisa mendapatkan penghasilan sebagai tukang ojek online dengan akun yang disewanya itu.
"Nggak narik, cuma duduk nunggu, tapi dapet 100 ribu", tegas Abang Gojek menggambarkan uang yang bisa didapat dari pemilik akun gojek yang menyewakan akunnya.