Lihat ke Halaman Asli

Hendra Wardhana

TERVERIFIKASI

soulmateKAHITNA

Toleran terhadap Intoleransi

Diperbarui: 1 Februari 2019   08:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penurunan spanduk penolakan gereja (sumber: twitter.com/ferrymaitimu).

Indonesia selalu diasosiasikan dengan kehidupan yang harmonis mengingat begitu beragamnya negeri ini, tapi rakyatnya bisa hidup berdampingan. Pujian sebagai masyarakat yang toleran membuat orang Indonesia bangga. 

Namun, begitu seringnya dianggap sebagai percontohan negeri yang penuh toleransi tampaknya malah membuat kita kehilangan kepekaan pada masalah intoleransi. Perusakan tempat ibadah, pembubaran kegiatan peribadatan, dan propaganda mengenai hari besar agama tertentu tidak dianggap sebagai masalah besar. Buktinya hal itu terus terjadi dan berulang seolah dibiarkan.

Memang sebagian besar negeri ini masih dinaungi nafas toleransi dan masih menikmati berkah kerukunan. Ada toleransi dan kesakinahan dalam kehidupan masyarakat dari Sabang sampai Merauke. Akan tetapi tidak sedikit saudara-saudara sebangsa yang dicekam ketidaktenangan dalam beragama dan beribadah.

Intoleransi membayangi langkah mereka saat berjalan menuju kelenteng. Kecemasan menyeruak di pikiran kalau-kalau gereja mereka tiba-tiba didatangi massa yang meminta ibadah mereka dihentikan dengan alasan menganggu "ketenangan". 

Itu belum seberapa karena ada tindakan yang lebih menyedihkan lagi, yakni gereja ditutup karena dianggap tidak berizin atau berdiri di tengah pemukiman mayoritas muslim.

Menyaksikan realitas seperti demikian, tidak berlebihan jika kita memandang masa depan toleransi Indonesia dengan penuh kekhawatiran.

Harapan sempat melambung bahwa pemerintah akan tampil berani menghadapi kelompok-kelompok intoleran. Ada keyakinan bahwa pemimpin kita akan lebih peduli pada hak-hak minoritas yang berulang kali dilanggar.

Sayangnya semakin hari justru yang tampak adalah sebaliknya. Manakala dihadapkan pada aksi-aksi intoleran serta menghadapi perilaku pincang kelompok-kelompok tertentu, sang pemimpin kelihatannya berhitung. 

Awalnya seperti berhati-hati atau menimbang agar tidak terjadi amarah yang lebih besar. Supaya tidak terjadi aliran aksi demo berjilid-jilid. Lalu mulai berkompromi sambil berharap kelompok-kelompok itu bisa direbut hatinya atau berubah menjadi lebih toleran.

Kenyataannya virus intoleransi tidak gampang diobati dan dibuat insaf. Sebuah kompromi malah membuat sang pemimpin terperosok pada langkah-langkah berikutnya yang menyedihkan dan mengkhawatirkan. 

Pemerintah, pemimpin beserta aparatnya, menjadi "gagu" di hadapan intoleransi. Bukan hanya kurang tegas, tapi dalam beberapa kejadian terkesan membiarkan dan baru mengambil sikap setelah muncul protes atau gejolak di masyarakat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline