Lihat ke Halaman Asli

Hendra Wardhana

TERVERIFIKASI

soulmateKAHITNA

Membaca "Tengger" lewat Kompasianer Ukik

Diperbarui: 7 Agustus 2018   08:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kompasianer Ukik di Indonesia Community Day, 5 Agustus 2018 (dok. pri).

Tengger adalah sebuah cerita. Lebih dari sekadar bentang alam, tapi bentang budaya. Tengger merupakan "pusaka saujana", begitu beberapa ahli menyebutnya.

Masyarakat Tengger adalah kelompok yang tinggal di bukit-bukit di sekitar Pegunungan Bromo dan Tengger. Mereka ada di sejumlah "Desa Tengger", seperti Ngadas (Kab. Malang), Wonotoro, Ngadirejo, Ngadisari (Probolinggo), Ranu Pani (Lumajang), Wonokitri, Tosari (Pasuruan).

Meski tersebar di banyak desa, masyarakat Tengger memiliki identitas spiritual, sosial, dan budaya yang unik sekaligus kuat. Mereka kaya akan upacara adat dan setia menjalankannya hingga kini. Berbagai aspek dalam masyarakat Tengger, terutama yang menyangkut upacara adat, inilah yang ditampilkan oleh Kompasianer Ukik melalui beberapa koleksi foto yang dipamerkannya di booth Kompasianer Malang "Bolang" pada gelaran Indonesia Community Day (ICD), 5 Agustus 2018.

Foto karya kompasianer Ukik memperlihatkan prosesi Tirto Aji atau pengambilan air dalam upacara pengangkatan pemimpin adat atau dukun Tengger (dok. pri).

Kompasianer Ukik adalah bagian dari masyarakat pelaku adat yang sudah bersentuhan dengan Tengger sejak tahun 1978. Mbah Ukik, begitu ia biasa disapa, juga merupakan asisten atau pembantu dukun di Desa Gubuk Klakah, salah satu desa Tengger di Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang. Istilah dukun sendiri adalah sebutan untuk pemimpin adat masyarakat Tengger. 

"Saya bisa jadi asisten dukun karena istri saya berasal dari sana (Gubuk Klakah)", ujarnya. Ia merasa perlu untuk menekankan hal ini karena dalam beberapa aspek masyarakat Tengger agak tertutup. 

Ia mencontohkan soal kepemilikan tanah. Orang-orang selain masyarakat Tengger tidak diperkenankan memiliki tanah di desa-desa Tengger. Tapi dalam urusan upacara adat, masyarakat umum justru bisa mengikuti beberapa bagian dari upacara adat Tengger.

Ritual berdoa di pura saat bagian dari upacara pengangkatan atau pelantikan dukun Tengger (dok. pri).

Beberapa foto tentang Tengger karya kompasianer Ukik dipamerkan di Indonesia Community Daya 2018 (dok. pri).

Salah satu rangkaian foto  yang menggambarkan bagaimana masyarakat Tengger memuliakan adat dan budayanya adalah foto-foto tentang upacara pelantikan atau pengangkatan dukun baru yang berlangsung di Bromo. "Ini waktu kemarin dukun barunya dari Hindu", kata kompasianer Ukik sambil menambahkan bahwa dukun Tengger dipilih selalu dari tokoh-tokoh adat yang usianya paling tua.

Meski dukun yang diangkat beragama Hindu ,upacara dilangsungkan dan diikuti oleh masyarakat Tengger dari berbagai latar belakang agama. Biasanya adalah pemeluk Hindu, Budha, dan penganut kepercayaan. Di sinilah tercermin nilai kebersamaan  yang dijunjung oleh masyarakat Tengger. 

Hal ini dimungkinkan karena masyarakat Tengger menyadari bahwa dukun bukan pemimpin agama, melainkan pemimpin adat yang mewakili secara aktif kehidupan tradisi dan budaya mereka bersama.

Meskipun demikian kompasianer Ukik juga menjelaskan bahwa ada kelompok-kelompok masyarakat Tengger yang lebih senang menjalankan upacara dengan kelompoknya sendiri. Itu sebabnya selain ada pura besar, di sekitar Bromo dijumpai pula pura-pura kecil yang menjadi tempat upacara kelompok-kelompok tersebut.

Dalam foto ditunjukkan bahwa upacara pengangkatan dukun dimulai dengan ritual Tirto Aji, yaitu pengambilan air dari sumber Widodaren. Pengambilan air dilakukan 40 hari sebelum acara utama. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline