Senin malam, 4 Juni 2018, rumah kakek di Wedi, Klaten, Jawa Tengah ramai oleh orang-orang. Pintu-pintu rumah dibuka dan lampu menyala terang. Lantunan doa, dzikir, dan surat Yasin terdengar. Malam itu, kami keluarga dan para tetangga menggelar pengajian 40 hari meninggalnya kakek.
Pengajian berlangsung khusyuk. Selain karena rumah kakek berada di desa dan terletak di tepi persawahan yang hening, juga karena yang datang cukup banyak.
Sekitar 60 orang mengikuti pengajian malam itu. Semuanya berkumpul menjelang pukul 21.00 WIB setelah sholat tarawih selesai.
Rasanya bersyukur dan lega karena banyak tetangga, baik yang dekat maupun yang jauh, ikut mendoakan kakek. Oleh karena rumah kakek tidak besar, mereka yang datang duduk hingga teras dan halaman di samping rumah.
Pengajian dipimpin oleh seorang kiai ulama setempat. Setiap kali berkunjung ke rumah kakek saya sering melihatnya bertindak sebagai imam di mushola dan juga memimpin acara keagamaan yang digelar di desa.
Selama memimpin doa, beberapa kali pak kiai menyampaikan pesan dan pengantar yang disampaikan dalam bahasa Jawa dan Indonesia.
Salah satu yang menarik adalah ucapannya saat akan memulai pengajian. "Kepada yang nonmuslim silakan menyesuaikan sendiri".
Ucapan seperti itu setidaknya beliau sampaikan dua kali, termasuk saat kami semua hendak menikmati hidangan setelah pengajian selesai. Saat kudapan dan nasi disajikan beliau memimpin doa sebelum makan bersama.
Barangkali ucapan pak kiai itu terdengar aneh dan tidak pada tempatnya karena pengajian tahlilan 40 hari meninggalnya seseorang adalah kebiasaan masyarakat Jawa yang beragama Islam.
Jadi, apa perlunya pesan, "kepada yang nonmuslim silakan menyesuakan sendiri", dari pak kiai malam itu?
Rupanya, tetangga yang hadir di pengajian 40 hari meninggalnya kakek tidak semuanya beragama Islam. Ada juga tetangga nonmuslim yang datang.