Cuaca cerah di Purwokerto pada Jumat (30/3/2018) siang itu. Di depan stasiun Purwokerto yang ramai dan hampir macet karena begitu banyaknya orang dan kendaraan yang keluar masuk stasiun, saya berhenti sebentar untuk memesan Gojek.
Dua menit kemudian saya mendapatkan seorang pengemudi Gojek yang tak perlu saya sebutkan namanya di sini.
Seperti pada umumnya di kota-kota lain di mana Gojek tidak diizinkan menjemput penumpang di stasiun, terminal, atau bandara, di Purwokerto juga berlaku hal yang sama.
Siang itu saya pun harus keluar dari area stasiun dan berjalan kaki sejauh kurang lebih 400 meter menuju titik terdekat area penjemputan penumpang Gojek dari Stasiun Purwokerto.
Di area penjemputan itu pengemudi Gojek yang akan membawa saya sudah menunggu. Di sana saya melihat beberapa motor dan mobil yang terparkir milik para pengemudi Gojek dan Gocar.
Di situ juga ada penjual kaki lima dan seorang lainnya yang saya perhatikan beberapa kali menerima selembar uang Rp2000 dari para pengemudi Gojek yang akan berangkat membawa penumpangnya.
Pengemudi Gojek yang saya tumpangi juga menyodorkan rupiah kepada orang tersebut sesaat sebelum pergi mengantarkan saya. Apakah ia tukang parkir yang mengutip jasa parkir kepada setiap kendaraan yang berhenti di tempat tersebut?
Dalam perjalanan saya mendapat sedikit jawaban sekaligus penjelasan menarik dari sang pengemudi tentang fenomena Gojek di Purwokerto.
Gojek sebenarnya sudah hadir di Purwokerto sejak 2017 lalu. Tapi selama sekitar 6 bulan pertama para pengemudi harus beroperasi secara diam-diam.
Mereka tidak mengenakkan atribut helm dan jaket karena adanya penolakan kelas, bukan hanya dari para tukang ojek pangkalan dan taksi konvensional, tapi juga terhalang "restu" pemerintah daerah setempat.
Baru akhir-akhir ini para pengemudi Gojek bisa menunjukkan "eksistensi" mereka. Para pengemudi Gojek bisa menampakkan diri di jalanan tanpa harus menyimpan seragam hijau kebesarannya.