Di usianya yang sudah menyentuh 70 tahun, ia masih tetap setia menekuni harinya berkeliling Kota Solo. Menjajakan makanan tradisional jadi pilihan hidupnya.
Namanya Pardiyem. Saya bertemu dengannya di Car Free Day yang diselenggarakan di Jalan Slamet Riyadi Kota Solo pada Minggu (17/12/2017) pagi, tepatnya di depan Yamaha Music School. Sambil duduk di atas tikar mbah Pardiyem sabar menunggu pembeli. Hatinya ia berharap dari ribuan orang yang berlalu lalang di CFD pagi itu ada beberapa yang mampir membeli pecel ndeso, cabuk rambak, atau nasi liwet. Ketiga makanan tradisional khas Solo itulah yang dijual oleh Mbah Pardiyem.
Sudah 40 tahun Mbah Pardiyem berjualan pecel ndeso, cabuk rambak, dan nasi liwet. Biasanya ia mulai berjualan pukul 06.00. Tapi ia sudah bangun pada pukul 01.00 untuk menyiapkan dan memasak bahan-bahan yang dibutuhkan. Semuanya dilakukannya sendiri.
Dari rumahnya di daerah Kwarasan Mba Pardiyem berjalan kaki membawa beberapa wadah berisi aneka bahan untuk meracik pecel, cabuk rambak, dan nasi liwet. Wadah-wadah itu ia bawa dengan cara digendong dan ditenteng menggunakan tangan.
Meski usianya sudah lanjut sehingga sering kelelahan saat berjalan kaki, Mbah Pardiyem belum berpikir untuk berhenti berjualan. Ia hanya mengurangi harinya berjualan. Jika dulu ia berjualan setiap hari, kini seminggu hanya tiga atau empat kali termasuk setiap Minggu di CFD Slamet Riyadi.
Kawasan di sekitar Jalan Slamet Riyadi, Ngarsopuro hingga Pura Mangkunegaran adalah tempat-tempat yang biasa didatangi Mbah Pardiyem untuk berjualan. Menurutnya masih banyak orang Solo yang suka dengan makanan tradisional seperti yang ia jajakan. Oleh karena itu, menjelang pukul 11.00 jualannya biasanya sudah habis. Kalaupun masih tersisa, ia tidak memaksakan diri untuk berjualan sampai semuanya habis. Ia memilih pulang sebelum sore. "Kadang ya nggak habis. Tapi pulang saja naik becak. Sisanya biasanya buat tetangga", kata Mbah Pardiyem yang belum lama ini kehilangan sang suami.
Pagi itu ada sejumlah pembeli yang mendatangi Mbah Pardiyem. Sepanjang itu pula ia terlihat tulus melayani setiap permintaan pembeli. Saya pun ikut menikmati pecel ndeso yang disajikan dengan pincuk daun pisang.
Isian pecelnya cukup menarik dan beragam. Sebagai penyuka sayuran saya menyukai komposisi pecel buatan Mbah Pardiyem. Selain ada bayam, tauge, daun pepaya, daun singkong, dan daun kenikir, Mbah Pardiyem juga menggunakan "jantung" bunga pisang. Bumbu pecelnya agak encer dan tidak terlalu pedas. Sementara nasi yang digunakan adalah nasi merah. Tambahan lainnya adalah kerupuk gendar yang renyah. Mbah Pardiyem menjual pecel ndeso ini dengan harga Rp7000 per porsi.
Saya juga mencicipi cabuk rambak buatanya seharga Rp5000. Makanan ini cukup sederhana tapi mulai jarang dijumpai. Berupa irisan tipis ketupat, kerupuk gendar, dan disantap dengan bumbu gurih yang terbuat dari kelapa, wijen, dan kemiri.
Sarapan Minggu pagi itu barangkali adalah salah satu sarapan terbaik saya selama bepergian ke luar kota. Bertemu dengan Mbah Pardiyem dan mencecap cita rasa yang ia hasilkan dengan ketulusan hati dan kesetiaan yang terjaga selama 40 tahun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H