Leni dan Miyanto keluar dari dalam rumahnya yang berdinding kayu dan beratap genteng. Di teras rumah, pasangan suami istri itu lalu bersimpuh di hadapan kedua orang tua mereka. Tak berapa lama kemudian, diiringi orang tua dan sejumlah warga, Leni dan Miyanto berjalan kaki menuju Sendang Mangunan.
Begitulah cuplikan pelaksanaan upacara mitoni yang saya saksikan di Desa Wisata Kaki Langit, Mangunan, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, DIY, pada Minggu (18/6/2017) siang. Mitoni adalah upacara adat Jawa untuk menandai usia kehamilan tujuh bulan anak pertama dalam sebuah keluarga. Di Mangunan, mitoni telah dilakukan oleh masyarakat dari masa ke masa dan hingga kini masih dipertahankan sebagai bagian dari tradisi turun temurun.
Seperti yang dilakukan oleh Leni dan Miyanto, upacara mitoni diawali dengan sungkeman sebagai permohonan doa restu sekaligus rasa hormat oleh pasangan suami istri kepada orang tua. Prosesi berikutnya adalah siraman di Sendang Mangunan. Prosesi ini dimulai dengan menyiramkan air bunga ke kepala sang calon ibu. Kemudian secara bergantian calon kakek dan nenek dari bayi yang sedang dikandung mengambil air dari sendang untuk disiramkan ke calon ibu dan calon ayah. Selama siraman calon ibu berdiri di depan calon ayah.
Usai siraman, prosesi dilanjutkan di halaman rumah. Salah satunya adalah mencoba beberapa kain bermotif batik dan lurik untuk sang calon ibu. Selama prosesi ini, tokoh masyarakat yang memimpin jalannya upacara mitoni akan bertanya kepada warga lainnya apakah kain yang dicoba sudah cocok atau belum.
Lazimnya upacara adat Jawa, mitoni yang dilaksanakan oleh masyarakat Mangunan juga menyimpan banyak makna. Mulai dari ungkapan rasa syukur atas kehamilan, hingga permohonan doa kepada Tuhan YME agar anak yang dikandung sehat dan lahir dengan selamat. Selain itu, upacara mitoni menjadi sarana untuk melestarikan warisan budaya Jawa lainnya melalui penggunaan pakaian tradisional, batik, lurik dan Bahasa Jawa.
Secara tidak langsung, upacara mitoni juga menumbuhkan kepedulian warga untuk menjaga keberadaan Sendang Mangunan yang merupakan salah satu sumber air bersih. Selama warga memiliki kesadaran untuk melaksanakan mitoni dan menggunakan air dari sendang, sepanjang itu pula kelestarian sumber air dapat terus diupayakan. Dengan kata lain, Sendang Mangunan menjadi saksi bagaimana masyarakat melestarikan budaya sekaligus menjaga alam di sekitar tempat tinggalnya.
Purwo Harsono, ketua pengelola Desa Wisata Kaki Langit Mangunan, menjelaskan bahwa upacara mitoni merupakan salah satu paket wisata yang ditawarkan kepada wisatawan atau masyarakat yang berkunjung ke Mangunan. "Jadi keluarga yang ingin mitoni, tapi bingung prosesinya bisa melaksanakannya di sini. Nanti akan dibimbing oleh masyarakat pelaku adat",tegasnya. Menurut pria yang biasa disapa Ipung itu, ada beberapa paket upacara mitoni yang disiapkan sesuai kebutuhan.
Mitoni bukan satu-satunya tradisi yang dipertahankan oleh warga masyarakat di Mangunan. Kebiasaan lain yang masih bisa dijumpai di desa ini adalah Gejog Lesung.
Menurut Eling Purwanto, Ketua Sanggar Mangun Budoyo Desa Wisata Kaki Langit, tradisi Gejog Lesung erat kaitannya dengan kehidupan warga masyarakat setempat yang sejak dahulu banyak berprofesi sebagai petani. Untuk mengolah hasil panen singkong dan padi, warga terutama kaum ibu bergotong royong menumbuknya menggunakan tongkat kayu atau alu dan lesung yang berbentuk seperti perahu. Hasil tumbukan kemudian disimpan di lumbung desa.
Salah satu olahan singkong yang menjadi makanan pokok warga Mangunan pada zaman dahulu adalah tiwul. Saat itu tiwul identik dengan kemelaratan karena sering dikonsumsi oleh warga yang tidak bisa menikmati nasi. Akan tetapi saat ini tiwul menjadi kuliner khas Desa Wisata Kaki Langit Mangunan.
Kini, lesung dan alu sudah jarang digunakan karena adanya mesin giling. Lumbung di desa pun sudah tidak ada. Namun, tradisi Gejog Lesung tidak lantas menghilang. "Sekarang warga masih memainkan Gejog Lesung sebagai hiburan atau saat bersih desa. Kami juga mengolaborasikannya dengan kesenian lain seperti kethoprak. Namanya jadi kethoprak Gejog Lesung," kata Eling Purwanto.
Di Desa Wisata Kaki Langit Mangunan, Gejog Lesung biasa dimainkan oleh tujuh hingga sepuluh orang yang umumnya adalah kaum wanita berusia 50 tahun ke atas. Salah satunya adalah Rajinem. Ia mengaku sudah memainkan Gejog Lesung sejak remaja. Kini saat usianya menginjak 60 tahun, ia tetap melanjutkan tradisi tersebut.
Meski awalnya banyak dimainkan oleh orang tua, bentuk kesenian Gejog Lesung kini semakin dinamis. Beberapa anak-anak atau generasi muda di Mangunan mulai bermain kesenian ini. Agar lebih menarik, Gejog Lesung kemudian dipadukan dengan nyanyian-nyanyian Jawa. Bunyi-bunyian yang dihasilkan dari benturan alu dan lesung pun semakin ritmis.
Berkunjung ke Desa Wisata Kaki Langit Mangunan benar-benar memberikan pengalaman wisata yang tak biasa. Keramahan warganya membuat siapapun yang berkunjung akan merasa nyaman. Lingkunganya pun bersih dan asri. Satu hal lagi yang paling istimewa adalah budaya dan tradisi lokalnya yang masih mendapatkan tempat cukup baik di tengah-tengah kehidupan masyarakatnya.