Hari Minggu, 26 Desember 2004, air laut dari Samudera Hindia naik lalu menerjang Aceh dengan dahsyat. Akibatnya, sekitar 160.000 jiwa meninggal dunia dan kerusakan yang sangat parah terjadi di banyak tempat. Rumah-rumah, perkantoran, jalan raya, dan bangunan-bangunan lain hancur rata dengan tanah.
Bencana tsunami di Serambi Mekah tersebut akan selalu diingat oleh masyarakat Indonesia. Bukan hanya karena penderitaan yang ditimbulkan, tapi juga karena tsunami Aceh merupakan titik balik yang membuka kembali mata bangsa Indonesia, betapa negeri ini ternyata sangat rawan bencana.
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang Januari hingga November 2016 ada 2.151 kejadian bencana alam di Indonesia. Dalam kurun waktu tersebut tercatat 393 korban meninggal dan hilang, serta lebih dari 2 juta orang menjadi pengungsi dan korban terdampak. Ini menunjukkan bahwa tingginya potensi bencana di Indonesia sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan, serta jumlah penduduk yang beresiko menjadi korban terdampak dan meninggal dunia.
Radio Penyelamat
Banjir, gempa bumi, tanah longsor, angin puting beliung, kebakaran hutan, serta bencana alam lainnya memang berulang kali melanda daerah-daerah di Indonesia. Tapi tsunami di Aceh itulah yang menjadi momentum Indonesia untuk membenahi banyak hal dalam manajemen siaga bencana. Titik balik berikutnya adalah gempa bumi dahsyat yang melanda Yogyakarta pada 2006. Sejak saat itu Indonesia semakin mampu menangani kejadian bencana.
Tapi secara umum kesadaran masyarakat Indonesia dalam memandang ancaman bencana masih belum sebanding dengan tingginya resiko bencana yang mengintai. Sikap siaga dan sadar bencana belum menjadi budaya yang melebur sepenuhnya dalam diri serta kehidupan masyarakat.
Di sisi lain kesadaran terhadap bencana diharapkan tumbuh atas inisiatif masyarakat sendiri. Masyarakat, terutama yang tinggal di daerah rawan bencana, perlu berdaya untuk mengurangi resiko bencana. Salah satunya dengan mengembangkan radio komunitas.
Bencana erupsi Gunung Merapi di Yogyakarta pada 2010 menjadi contoh menguatnya kemandirian masyarakat dalam memantau aktivitas Merapi dan menyebarkan informasi bencana kepada khalayak melalui radio komunitas. Hasil penelitian Damayanti Wardyaningrum dari Universitas Al Azhar Indonesia tentang inovasi mitigasi bencana yang dipublikasikan pada 2014, menunjukkan ada peningkatan kesadaran dan inisiatif komunikasi dari masyarakat untuk memanfaatkan perangkat radio dan handie talky pada erupsi Gunung Merapi 2010.
Jaringan Informasi Lingkar Merapi (Jalin Merapi) adalah radio komunitas yang cukup menonjol dalam mitigasi dan penanganan bencana Merapi. Jalin Merapi yang lahir pada 2006 adalah gabungan dari tiga radio komunitas di kaki Gunung Merapi, yaitu Lintas Merapi FM di Kemalang (Klaten), K FM di Dukun (Magelang), dan MMC FM di Selo (Boyolali). Dalam perkembangannya ada delapan radio komunitas yang berjejaring dalam Jalin Merapi.
Selama bencana Jalin Merapi aktif memberikan informasi terkait aktivitas Gunung Merapi, serta situasi di area terdampak di sekitar puncak dan kaki Merapi. Secara intensif dan non-stop Jalin Merapi juga melaporkan lokasi pengungsian, kebutuhan pengungsi, hingga akses jalan menuju pengungsian.
Informasi dari Jalin Merapi cukup cepat dan akurat karena bersumber dari orang-orang di sekitar lokasi bencana, termasuk di pengungsian. Media yang digunakan tidak hanya radio komunikasi, tetapi juga twitter dan online streaming.