Lihat ke Halaman Asli

Hendra Wardhana

TERVERIFIKASI

soulmateKAHITNA

2 Tahun Jokowi-JK, Masalah Ketimpangan Jadi Alarm Tanda Bahaya

Diperbarui: 24 Oktober 2016   17:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua orang anak kecil dari keluarga pra sejahtera berdiri di depan rumahnya di Kulonprogo, DIY (dok. Hendra Wardhana).

Indonesia akan bergerak menjadi negara maju pada 2030. Begitulah prediksi sejumlah pakar dan lembaga internasional yang menempatkan negara ini sebagai kandidat  jagoan baru dalam peta perekonomian dunia. Pertumbuhan ekonomi selama satu dasawarsa terakhir menjadi tolak ukurnya.

Akan tetapi, kinerja perekonomian bukanlah satu-satunya faktor penentu kemajuan sebuah bangsa. Angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga tidak otomatis menjadi ukuran kesejahteraan penduduk. Sayangnya, inilah yang sedang dialami oleh Indonesia. Di balik indikator  angka yang mengagumkan tersebut, ada sebuah alarm tanda bahaya yang sedang menyala, yaitu ketimpangan ekonomi.

Ketidakadilan yang Langgeng

Pasca reformasi, kondisi ketimpangan di Indonesia justru semakin parah dan menjadi salah satu yang tertinggi di Asia. Capaian pertumbuhan ekonomi selama ini pun dianggap kurang bermakna. Hal itu terungkap dalam diskusi ketimpangan ekonomi yang merupakan bagian dari kegiatan “Peningkatan Peran Perguruan TInggi Dalam Pembinaan dan Edukasi ke Masyarakat di Bidang Ilmi Ekonomi Melalui Kolaborasi dengan Komunitas Netizen Yogyakarta”, pada Minggu (23/10/2016).

Dalam kesempatan tersebut peneliti pada Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Abraham Wirotomo, memaparkan pandangan dan hasil kajiannya terhadap sejumlah permasalahan menyangkut ketimpangan di Indonesia. “Ada ketimpangan yang terlalu mencolok antara yang kaya dengan yang miskin di Indonesia”, tegasnya.

Hal itu bisa dilihat dari angka gini yang memuat kesenjangan pendapatan antar penduduk di Indonesia. Selama periode 2006 hingga 2013 nilai gini terus meningkat hingga menyentuh angka 0,41. Semakin mendekati nilai 1 berarti ketimpangan atau kesenjangan semakin lebar. Kondisi tersebut banyak terjadi di daerah Indonesia timur.

Abraham Wirotomi, peneliti FEB UGM memaparkan kondisi ketimpangan di Indonesia (dok. Hendra Wardhana).

Besarnya ketimpangan juga terlihat dari kemiskinan yang menjerat jutaan penduduk Indonesia. Hingga 2013 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sekitar 28,55 juta penduduk Indonesia berada dalam kondisi sangat miskin. Artinya 1 dari 9 penduduk negeri ini adalah orang miskin. Namun, Bank Dunia memperkirakan jumlah penduduk miskin di Indonesia bisa melebihi angka tersebut karena ada banyak penduduk yang  hanya berada sedikit di atas garis kemiskinan.

Menariknya, persepsi orang Indonesia terhadap ketimpangan ekonomi ternyata tidak seragam. Sebagian penduduk tidak mempermasalahkan ketimpangan karena hal itu diperoleh dari hasil kerja keras. Sementara sebagian lagi menganggap ketimpangan sebagai ketidakadilan. Mereka yang memiliki pandangan demikian biasanya memiliki pengalaman sebagai “korban” kemajuan yang terjadi di daerah tempat tinggalnya. Misalnya masyarakat yang terpinggirkan di sekitar kawasan perkebunan kelapa sawit.

Catatan penting lainnya, penduduk miskin di Indonesia seringkali tidak menyadari kemiskinan itu sendiri. Meskipun pada saat yang sama ada banyak penduduk yang mengalami kecemasan sosial dan mempersepsikan kemiskinan dalam kehidupannya.

Jumlah penduduk miskin di Indonesia.

Ketimpangan ekonomi di Indonesia telah mencapai titik yang dalam dan meluas hingga menyebabkan ketimpangan dalam hal mengakses sumber kebutuhan lainnya seperti pendidikan, kesehatan, dan energi listrik. Di Indonesia hanya sekitar 55% anak dari keluarga miskin yang mampu menuntaskan pendidikan menengah pertama. Akses tehadap fasilitas keseharan masih sangat kurang di wilayah Indonesia timur. Sementera akses terhadap air bersih hanya dimiliki oleh separuh penduduk miskin di desa. Hal yang sama berlaku dalam hal akses listrik dan telekomunikasi yang masih dominan berada di Jawa.

Menurut Abraham ketimpangan yang lebar di Indonesia saat ini tidak lepas dari pembangunan sentralistik yang berlangsung selama puluhan tahun di masa orde baru. Pengerahan sumber daya dan dana untuk Jawa telah menimbulkan ketidakadilan  pemenuhan kebutuhan hidup banyak penduduk Indonesia yang tinggal di luar Jawa, terutama di Indonesia timur. Hal itu diperparah dengan capaian pemerintah yang tidak terlalu mengesankan dalam menanggulangi ketimpangan. Sejumlah kebijakan termasuk melalui bantuan tunai tidak sepenuhnya menjangkau daerah tertinggal dan terpencil. Akibatnya ketimpangan di negera ini semakin langgeng.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline