Dua belas tahun yang lalu, Oktavianus Etapuka (55) kembali ke Kekwa, Timika, Papua. Ia pulang kampung setelah lama mengikuti orang tuanya merantau dan menempuh pendidikan di Jayapura. Sebagai orang Kamoro ia kemudian menekuni seni ukir kayu khas Kamoro.
Kamoro adalah suku seminomaden yang mendiami pesisir selatan Papua. Masyarakat Suku Kamoro yang berjumlah kurang lebih 18.000 orang tersebar di sekitar 45 kampung, termasuk Kekwa.
Sebagian besar orang Kamoro hidup dengan budaya meramu. Hutan dan rawa di sekitar tempat tinggal mereka menjadi “supermarket” yang menyediakan semua kebutuhan hidup. Sagu, ikan, daging dan lain sebagainya mereka peroleh langsung dari alam. Tak heran jika orang Kamoro sangat mahir memancing dan berburu hewan dengan cara menyergap atau menjerat.
Suku Kamoro juga telah lama melahirkan mahakarya berupa seni ukir kayu yang unik. Mereka membuat ukiran di banyak peralatan yang digunakan sehari-hari. Kebiasaan itu diwariskan dari satu generasi ke generasi. Saat ditemui di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjo Soemantri Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, pada Jumat (3/6/2016) lalu, Oktavianus menunjukkan hasil ukiran kayu khas Kamoro. Beberapa di antaranya adalah Oteka yang berbentuk tongkat, Yamate (perisai), Pekaro (piring), dan Waki (alat pukul).
Bukan dari Keluarga Pengukir
Tidak semua orang Kamoro bisa mengukir. Dulu biasanya hanya keluarga pengukir yang mewarisi keahlian tersebut. “Kalau ke kampung, lihat saja rumah-rumahnya. Kalau banyak ukiran, berarti dia pengukir”, terang Oktavianus.
Seni ukir Kamoro sempat hampir tenggelam karena orang yang mengukir semakin sedikit. Minat anak muda Suku Kamoro untuk menekuni seni ukir juga berkurang. Kenyataan itulah yang kemudian turut menggerakkan Oktavianus untuk mengukir meski ia bukan berasal dari keluarga pengukir. Ayahnya adalah seorang mantan polisi yang beberapa kali berpindah tugas sehingga ia dan sang ibu harus mengikutinya.
Tanpa warisan ilmu mengukir dari orang tua bukan halangan bagi Oktavianus untuk menekuni seni ukir khas Kamoro. Tiga tahun sebelum kembali ke Kekwa, pria lulusan Sekolah Pendidikan Guru Taruna Bhakti Jayapura ini sudah mulai mempelajari ukiran Kamoro. Meski memiliki keterampilan menggambar dan melukis, namun menguasai teknik mengukir khas Kamoro ternyata tidak mudah. Saat belajar akurasi menggunakan alat ukir dan membolak-balik kayu, Oktavianus mengaku tangannya beberapa kali terluka terkena alat ukir.
Beradaptasi dengan Zaman
Pada awalnya orang Kamoro membuat ukiran hanya di waktu tertentu dengan tujuan utama merawat budaya suku mereka. Namun, sejak kehadiran community development (comdev) PT. Freeport Indonesia, orang Kamoro mulai menyadari bahwa selain memiliki nilai budaya yang tinggi, ukiran kayu buatan mereka juga bisa dijual. Upaya yang digagas comdev PT. Freeport Indonesia dalam menggalakkan seni ukir Kamoro diakui oleh Oktavianus membuat pengukir Kamoro semakin bergairah. Anak-anak muda di suku tersebut sedikit demi sedikit juga mulai tertarik menekuni seni ukir yang diwariskan leluhurnya. “Sekarang mereka tahu kalau mengukir juga bisa dapat uang”, kata Oktavianus.
Kesadaran itu juga telah “menghidupkan” kembali beberapa perkakas tradisional Kamoro yang sudah lama ditinggalkan. Oktavianus mencontohkan ukiran kayu pada sebuah perkakas menyerupai piring yang lebar. Sisi cekung para perkakas tersebut dahulu digunakan sebagai tempat makan, sementara sisi cembungnya digunakan sebagai pengganjal kepala saat tidur. Orang Kamoro kemudian meninggalkan perkakas itu setelah mengenal piring. Namun, kini pengukir Kamoro kembali membuatnya sebagai cenderamata.