Papua di ujung timur Indonesia adalah sebuah mahligai. Alamnya yang kaya dan mempesona diakui laksana sepotong surga. Budayanya yang beragam juga mengundang rasa takjub serta penasaran untuk mengenalnya lebih dekat.
Itulah yang mendorong Keluarga Mahasiswa Papua Universitas Gadjah Mada (Kempgama) bekerja sama dengan UGM, Pokja Papua UGM, dan PT. Freeport Indonesia menyelenggarakan acara #BicaraPapua dengan tema “Meneropong Papua Dari Kacamata Budaya”. Kegiatan yang bertujuan membawa budaya Papua lebih dekat kepada masyarakat Indonesia ini berlangsung pada 2-3 Juni 2016 di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjo Soemantri (PKKH) UGM.
Acara #BicaraPapua diisi sejumlah kegiatan. Antara lain seminar, diskusi, pemutaran film, dan pentas kesenian. Semua kegiatan tersebut menjadi bagian dari Kompasiana Coverage.
Dalam sambutannya, Wakil Rektor UGM Bidang Riset dan Pengabdian Masyarakat, Prof. Suratman, menyambut baik acara ini karena sesuai dengan semangat UGM sebagai universitas pusat kebudayaan dan kampus Pancasila. Acara ini juga mempertegas kehadiran UGM untuk Papua, selain melalui KKN, pelatihan guru, pelayanan kesehatan dan pelestarian lingkungan. Selanjutnya ia berharap UGM dapat bekerja sama dengan lebih banyak pihak untuk menggali lebih dalam budaya Papua agar bisa menjadi bagian dari budaya dunia. “Budaya Papua sangat agung. Tapi dokumentasi dan riset budaya Papua masih sangat kurang”, katanya.
Pandangan senada juga diungkapkan oleh antropolog dari Universitas Cendrawasih, Dr. Joshzua Robert Mansoben yang menjadi salah satu pengisi seminar. Ia mencontohkan bahasa daerah di Papua yang masih jarang diteliti. Padahal, ragam bahasa di Papua adalah khasanah budaya yang sangat bernilai ilmiah.
Namun bahasa hanya bagian kecil dari kekayaan budaya Papua. Dengan lebih dari 260 kelompok etnis/suku, Papua mewarisi begitu banyak bentuk kebudayaan dan norma adat. Selain sebagai modal, keberagaman tersebut juga menghadirkan tantangan dalam pembangunan di Papua. Pembangunan Papua hanya akan berhasil jika kebijakan disusun dengan landasan pengetahuan yang tepat akan budaya, manusia, dan lingkungan Papua.
Budaya Papua harus menjadi pijakan utama dalam pembangunan di daerah tersebut. Dengan adanya 7 zona budaya yang masing-masing memiliki corak, pendekatan dalam membangun Papua harus disesuaikan dengan setiap kearifan lokal yang dianut oleh setiap entitas budaya tersebut. Inilah yang sering diabaikan sehingga kebijakan pembangunan untuk Papua justru melahirkan perubahan-perubahan yang merugikan masyarakatnya. Bahkan, menurut Laksmi Safitri, Antropolog UGM yang juga turut menjadi pengisi seminar, masyarakat Papua merasakan ambivalensi akan kedudukan mereka dalam setiap perubahan yang terjadi di Papua. Masyarakat Papua juga sering merasa tertipu oleh janji-janji perubahan.
Budaya Papua selama ini membimbing masyarakatnya dalam menjaga alam, termasuk dalam mengelola tanah. Masyarakat di sana menganggap tanah sebagai “ibu” yang harus disayangi. Di sisi lain, kepemilikan tanah menjadi salah satu masalah rumit yang kerap terjadi di Papua. Oleh karena itu, menurut Safitri, sistem kepemilikan tanah di Papua perlu diakomodasi dan diakui dalam bentuk peraturan hukum.
Pendekatan pembangunan di Papua harus diubah. Pengenalan budaya Papua yang utuh sangat penting dalam keberhasilan pembangunan di Papua. Apalagi, sejak lama masyarakat Papua telah mewarisi pemikiran dan menjalankan berbagai bentuk tradisi yang sangat kuat mereka jaga. Mengutip pernyataan Prof. Suratman bahwa pembangunan yang berlandaskan budaya di Papua tidak hanya untuk memperkuat integritas dan pengetahuan masyarakatnya, tetapi juga untuk memperteguh kebudayaan itu sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI