Langit sedikit mendung saat saya menginjakkan kaki di Pantai Kertasari untuk pertama kalinya pada Sabtu (20/2/2016) itu. Pantai Kertasari berada di Kecamatan Taliwang, Kabupaten Sumbawa Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Keindahan pantai ini langsung terpampang nyata tanpa harus menyusuri garis pantainya yang panjang. Selain langit biru dan awan yang berserakan, pasir putihnya juga lembut sehingga langkah kaki di atasnya terasa nyaman. Sekejap saya telah terpikat oleh Pantai Kertasari meski sebenarnya saya bukan penggemar berat pantai.
Pantai Kertasari memang indah. Air lautnya tenang dan gelombang yang menuju tepian juga tidak terlalu kuat karena Pantai Kertasari berada di zona perairan intertidal yang merupakan batas daerah pasang. Zona ini akan tenggelam saat pasang tertinggi dan tidak tergenangi air laut saat pasang terendah. Oleh karena itu pula, Pantai Kertasari menjadi ladang yang subur bagi rumput laut. Barisan petak tempat budi daya rumput laut terlihat di bibir pantai.
Hampir semua penduduk Kertasari berprofesi sebagai petani rumput laut. Mereka membudidayakan rumput laut jenis Euchema cotonii yang berwarna hijau dengan tubuh berbentuk gilig dan bercabang pendek.
Para petani rumput laut di Kertasari umumnya memiliki gubug sederhana di tepi pantai. Dindingnya terbuat serta atapnya terbuat dari anyaman bambu dan ilalang. Sementara lantainya berupa pasir pantai yang sering. Di gubug inilahpetani rumput laut tinggal sementara saat musim tanam dan panen.
Salah satu petani rumput laut yang saya temui di Pantai Kertasari adalah Ruslih. Usianya masih kepala lima. Tapi ia terlihat lebih berumur dari yang seharusnya. Mungkin karena terik matahari yang membuat kulitnya menjadi lebih legam. Ditambah lagi bias keringat yang memperjelas jejak keribut di kulit.
Saat panen rumput laut tiba, Ruslih dan istrinya yang bernama Sumiati banyak menghabiskan waktu di gubugnya di tepi pantai. Mereka pun berbagi peran. Ruslih bertugas memanen rumput laut dari ladang dan membawanya ke tepi pantai. Bersama sang istri, ia lalu memisahkan rumput laut dari sampah dan “lumut” yang tak diinginkan. Lumut yang dimaksud sebenarnya termasuk jenis rumput lain yang tidak dibudidayakan oleh para petani.
Rumput laut kemudian dijemur hingga kering dan berwarna coklat. Berbeda dengan beberapa petani yang membangun tempat penjemuran dari bilah-bilah bambu, Ruslih memilih menjemur rumput lautnya di atas terpal dan jaring yang dihamparkan di atas pasir. Menurutnya cara itu lebih mudah. “Kalau hujan tinggal digulung”, katanya.
Setelah kering rumput laut kembali dibersihkan dan dipilah. Pekerjaan ini banyak dilakukan oleh istrinya di dalam gubug. Selanjutnya rumput laut kering yang telah dipilah dimasukkan ke dalam karung untuk disimpan dan siap dijual melalui pengumpul.
Setiap panen, Ruslih mampu memperoleh 70-100 kg rumput laut kering. Sayangnya ia dan para petani rumput laut di Kertasari masih sering menghadapi anjloknya harga secara tajam. Biaya produksi mulai persiapan, penanaman hingga pemanenan pun tidak sedikit. Oleh karena itu, keuntungan yang didapatkannya tidak selalu sebanding dengan banyaknya hasil panen.
Meskipun demikian Ruslih tetap menaruh harapan. Ia tak menyerah dan terus menanam rumput laut di Pantai Kertasari karena itulah yang telah menghidupi ia dan keluarganya selama ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H