Ironi itu bernama Indonesia. Negeri yang kaya dan berlimpah sumber daya alam namun belum mampu memakmurkan rakyatnya, meski sudah 7 dekade merdeka. Apa sebabnya?.
Adalah korupsi yang selama ini memenjara Indonesia. Di negara ini korupsi sudah mencapai level dewa. Berhenti menyebut korupsi di Indonesia adalah penyakit karena sudah berubah menjadi kanker yang mengakar sangat dalam dan wabah yang menjalar begitu luas.
Koruptor di Indonesia berasal dari hampir semua entitas. Mulai dari swasta, lembaga independen, PNS, pejabat negara/pemerintah daerah, pejabat BUMN/BUMD, hakim, politisi, hingga anggota legislatif.
Menurut data Laboratorium Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM), jumlah kasus kejahatan korupsi meningkat 4 kali lipat selama periode 2001-2015. Kejahatan korupsi di Indonesia juga terjadi mulai dari tingkat gurem dengan nilai kurang Rp. 10 juta hingga kelas kakap yang merampok lebih dari Rp. 25 miliar. Satu hal yang juga luar biasa, distribusi korupsi kelas kakap di Indonesia lebih banyak dibanding korupsi gurem.
Koruptor kakap di Indonesia tidak takut dengan pengadilan dan penjara karena di sana mereka juga leluasa bermain. Menurut Dr. Rimawan Pradiptyo dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, modus korupsi di Indonesia paling canggih dan praktiknya sangat struktural. “Waktu saya cerita tentang kasus Gayus dan Ayin (Artalita Suryani) kepada orang luar, mereka langsung heran dengan korupsi di Indonesia”, katanya dalam diskusi bersama Kompasianer Jogja beberapa waktu lalu.
Permasalahan korupsi yang menjerat Indonesia memang sangat kompleks dan multi dimensi. Di satu sisi ada kerugian besar dan penderitaan yang dialami masyarakat karena korupsi. Tapi kesadaran untuk melakukan perlawanan secara kolosal menghadapi korupsi belum tumbuh secara maksimal.
Generasi muda yang digadang-gadang berada di garda terdepan melawan korupsi juga belum segarang yang diharapkan. Di sisi lain, hukum dan undang-undang di Indonesia, diam-diam menyuburkan korupsi dan menghidupi koruptor.
Nilai eksplisit kerugian negara akibat korupsi selama ini sebesar Rp. 203,9 triliun. Akan tetapi, hukuman finansial yang diterima oleh para koruptor hanya Rp. 21,36 triliun (10,42%). Artinya ada Rp. 182,64 triliun yang telah dinikmati koruptor namun tidak diminta kembali. Jumlah tersebut justru dibebankan kepada masyarakat melalui pajak yang dikenakan saat membeli makanan, obat-obatan, buku dan lain sebagainya.
Rakyat Indonesia saat ini dan generasi yang akan datang akan terus mengeluarkan biaya untuk menanggung nilai korupsi yang semestinya menjadi kewajiban koruptor. Dengan kata lain, rakyat Indonesia selama ini dipaksa untuk menyubdisi koruptor.
Subsidi untuk koruptor tidak lepas dari praktik pengadilan dan hukuman yang menguntungkan para koruptor selama ini. Fakta menunjukkan bahwa hukuman finansial untuk koruptor kelas kakap di Indonesia hanya 8,3% dari nilai kerugian yang telah dikorupsi.