[caption caption="Singkapan tanah di area tambang PT Newmont Nusa Tenggara dan hasil reklamasi di atasnya (dok. pribadi)."][/caption]
Dunia tambang selalu membuka ruang perdebatan. Rentetan pertanyaan silih berganti tak pernah usai meski jawaban telah dihadirkan. Apalagi, jika masalah yang diangkat seputar dampak terhadap alam atau lingkungan. Pembersihan lahan, pembukaan hutan, peledakan bukit, hilangnya flora dan satwa khas, pencemaran tanah hingga guyuran limbah ke perairan, semuanya meninggalkan luka di jantung alam.
Minggu, 14 Februari 2016, saya berangkat ke Sumbawa Barat juga membawa pertanyaan dan kegelisahan tersebut. “Sejauh mana pertambangan bisa bertindak etis pada lingkungan?”. Saya tidak mendapatkan jawabannya seketika. Tapi mata dan pikiran saya pelan-pelan menyimpulkannya sendiri. Definisi “green mining”, “sustainable mining” dan “semangat hijau” dunia tambang mulai saya pahami di Batu Hijau, lokasi pertambangan PT. Newmont Nusa Tenggara (PTNNT).
Apa yang Newmont lakukan untuk menambang bijih tembaga dari dalam bumi Sumbawa Barat di Batu Hijau mungkin sama dengan kegiatan pertambangan serupa di tempat lain. PTNNT juga melakukan pembukaan lahan hingga menghasilkan limbah/tailing dalam jumlah besar. Namun, ada komitmen untuk bertindak etis pada lingkungan yang menjadi rambu-rambu dan mengarahkan kegiatan pertambangan PTNNT.
Upaya mengurangi gangguan dan kerugian lingkungan direncanakan sejak sebelum kegiatan pertambangan dilakukan. Hal itu diikuti dengan upaya penanganan dan pengendalian dampak secara konsisten selama proses produksi berlangsung. Kawasan hijau yang mengelilingi tambang Batu Hijau menjadi bukti umumnya.
[caption caption="Bukit yang hijau mengelilingi divisi pertambangan PTNNT di Batu Hijau (dok. pribadi)."]
[/caption]
[caption caption="Hutan di sekitar pabrik pengolahan PTNNT diupayakan tetap lestari (dok. pribadi)."]
[/caption]
PTNNT melakukan reklamasi sesegera mungkin di area yang sudah selesai ditambang. Penghijauan di area bekas tambang dilakukan beriringan dengan penambangan di area berikutnya. Sejak 2000 sekitar 800 hektar lahan berhasil direklamasi. Seluas 40 hektar di antaranya telah diserahterimakan kembali kepada pemerintah. Tanah yang digunakan untuk penutupan area reklamasi berasal dari top soil yang diselamatkan terlebih dahulu saat pembukaan lahan. Dalam melakukan reklamasi komposisi tumbuhan berusaha dipertahankan seperti keadaan semula. Oleh karena itu PTNNT mengembangkan nursery sendiri sebagai sumber kebutuhan bibit. (baca kebun bibit Comdev Maluk). Pemantauan ekologi burung serta kelelawar juga dilakukan sebagai salah satu indikator kemajuan upaya reklamasi.
[caption caption="Kebun bibit Comdev di Maluk (dok. pribadi)."]
[/caption]
[caption caption="Reklamasi di bekas area tambang dilakukan beriringan dengan proses pertambangan di area berikutnya (dok. pribadi)."]
[/caption]
[caption caption="Saluran yang khusus dibuat untuk mencegah pembauran air terdampak tambang dengan air bersih dari hutan (dok. pribadi)."]
[/caption]