Gerimis sempat turun ketika Sultan Hamengkubawono X, yang saat itu masih bergelar Hamengkubuwono, duduk bersila di hadapan ratusan masyarakat Yogyakarta dalam sebuah jamuan makan malam bersama. Malam itu bertepatan dengan hari Jumat, 12 Oktober 2012, Sultan mengundang warga dari seluruh kabupaten dan kota di DIY, dari berbagai kalangan serta perwakilan unsur masyarakat yang ada di Yogyakarta dalam rangka syukuran Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta. Inilah salah satu momen sejarah penting bagi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kraton Yogyakarta.
[caption id="attachment_365050" align="aligncenter" width="576" caption="Sultan Hamengkubawono X duduk bersama perwakilan unsur masyarakat dalam syukuran penetapan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta, 12 Oktober 2012."][/caption]
Malam itu pula menjadi kesempatan pertama saya melihat dan mendengarkan secara langsung pandangan Sultan Yogyakarta. Seketika itu saya kagum dengannya. Bukan semata pada kharisma atau kedudukannya sebagai raja yang dihormati, melainkan lebih pada sikap dan pemikirannya sebagai pemimpin sekaligus pengabdi.
Sultan terlihat dekat dan menyatu dengan rakyatnya malam itu. Di bawah atap yang sama, Sultan dan warga duduk saling menghadap. Saat itu makan malam bersama digelar dalam suasana hidmat. Meski berlangsung di dalam kompleks keraton, tak ada yang kaku dalam acara saat itu. Sikap hormat rakyat Jogja kepada raja dan keraton terasa kuat. Sebaliknya, sikap pemimpin yang membumi dan senantiasa menenangkan rakyatnya terpancar dari diri Sultan. Acara malam itu pun berlangsung hangat hingga diakhiri dengan jabat tangan antara Sultan dengan warganya,
Namun bukan suasana hangat jamuan makan malam bersama yang saat ini ingin saya ungkapkan kembali. Melainkan sikap dan pandangan Sultan yang sangat berwawasan ke-Indonesia-an yang disampaikannya malam itu. Juga pemikirannya yang progresif terkait Sabda Raja yang sedang menuai polemik saat ini.
Malam itu Sultan menjelaskan sejarah pembahasan undang-undang keistimewaan Yogyakarta. Menurutnya semua pembahasan dilandasi dengan keikhlasan. Beliau menegaskan jangan ada perasaan ditinggalkan dari rakyat Yogyakarta. Tidak ada yang menang dan kalah dalam penetapan keistimewaan Yogyakarta.Oleh karena itu Sultan mengajak segenap rakyat Yogyakarta untuk mematuhi apa yang telah ditetapkan pemerintah.
Penjelasan tersebut menunjukkan sikap patuh Sultan sebagai warga negara dan gubernur. Di saat yang sama ia juga menjalankan perannya sebagai raja yang senantiasa membesarkan hati rakyat yang dipimpinnya. Seperti yang kita ketahui bersama, penetapan keistimewaan Yogyakarta saat itu menjadi polemik penuh drama. Beberapa partai politik menjadikan keistimewaan Yogyakarta sebagai manuver politik yang menggelikan. Bahkan seorang Presiden SBY saat itu ikut menambah panas dengan menyatakan “monarki” tidak sesuai dengan Indonesia. Sikap SBY dan partai politik pun membuat rakyat Yogyakarta geram. Bersyukur Sultan dan Kraton sanggup membimbing rakyatnya untuk tetap tenang.
Dalam acara malam itu Sultan juga menekankan pentingnya kesadaran segenap unsur di DIY untuk menjalankan keistimewaan dengan baik agar mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Kepada pemerintah DIY Sultan mengingatkan untuk senantiasa mensejahterakan masyarakat tanpda membeda-bedakan. Namun Sultan juga berharap keistimewaan Yogyakarta tidak membuat masyarakat larut dalam euforia.
Ada satu momen yang menggetarkan hati saat itu. Yakni saat Sultan menjabarkan semangat kebangsaan dalam keistimewaan Yogyakarta. Sultan dengan tegas menekankan pentingnya semangat NKRI, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dalam menjalankan keistimewaan Yogyakarta. Menurutnya ada 3 hal yang harus selalu dibangun di atas tanah Yogyakarta yakni Ketuhanan, Kemanusiaan dan Keadilan.
Sultan dengan penuh rendah hati menempatkan dirinya sebagai warga negara, bukan sebagai raja. Pernyataan itu ternyata tak membuatnya kehilangan wibawa. Hadirin yang datang malam itu pun memberikan tepuk tangan untuk pemimpinnya. Akhirnya pada salah satu bagian akhir amanatnya malam itu, Sultan secara terbuka menyambut baik demokratisasi.
[caption id="attachment_365052" align="aligncenter" width="571" caption="Kraton Yogyakarta tempat raja bertahta."]
[/caption]
Semangat demokrasi dan progresif itulah yang kembali ditunjukkannya dalam merespon polemik sabda raja yang sedang menghangat saat ini. Dengan bijak ia tidak mempermasalahkan perlawanan yang dilakukan oleh beberapa adiknya. Dengan tangan terbuka Sultan bahkan mengundang para adiknya untuk duduk bersama menjelaskan esensi dari sabda raja.
Di saat yang bersamaan, Sultan juga bertindak sebagai pemimpin yang tak ingin kegaduhan mengganggu kehidupan masyarakatnya. Secara terbuka beliau menyatakan bahwa rakyat Yogyakarta tak harus selalu menjadikan Kraton sebagai kiblat dalam menjalankan peran kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sabda Raja merupakan urusan internal Kraton yang sama sekali tidak mengubah tata kelola pemerintahan, kehidupan sosial serta pelaksanaan keistimewaan Yogyakarta.
Sultan menegaskan bahwa Sabda Raja yang dikeluarkannya semata-mata merupakan upaya untuk menjaga kelangsungan Kraton. Menurutnya masyarakat Kraton perlu berbenah dan berpandangan jauh ke depan. Sabda Raja yang dikeluarkannya mengandung filosofi bahwa dalam menjaga tradisi, Kraton juga harus menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan tantangan yang dihadapi Indonesia.
Bagi Sultan, tradisi Kraton bukanlah sesuatu yang sepenuhnya kaku. Melainkan sebuah tatanan yang perlu menyesuaikan diri. Hal itu diperlukan agar Kraton Yogyakarta dapat terus langgeng. Apalagi sejak kepemimpinan Sultan I hingga dirinya, Kraton Yogyakarta sebenarnya terus menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
Masyarakat tentu ingat sebuah peristiwa penting dan salah satu sejarah terbesar dalam perjalanan Kraton Yogyakarta adalah ketika Kraton dan segenap rakyatnya memutuskan bergabung ke dalam NKRI dan berkomitmen mengabdi kepada satu bangsa yang sama. Dengan demikian sikap progresif Kraton Yogyakarta sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Itulah yang berusaha diteruskan oleh Sultan Hamengkubawono X dengan cara yang berbeda menyesuaian perkembangan zaman saat ini.
Sultan mengakui bahwa tidak semua SDM Kraton siap untuk berubah dan menyesuaikan perkembangan zaman, termasuk dalam urusan gelar raja. Oleh karena itu ia mengajak semua unsur Kraton untuk terlebih dulu mencoba menjalankan perubahan, bukan sebaliknya menolak mentah-mentah tanpa memaknai maksud di dalamnya. Terkait gelar yang diberikannya kepada GKR Pembayun, Sultan juga menyampaikan bahwa itu bukanlah pelimpahan tahta. Pewarisan tahta Kraton Yogyakarta bukan sepenuhnya menjadi urusan beliau seorang.
[caption id="attachment_365051" align="aligncenter" width="576" caption="Masyarakat Yogyakarta menyimak penjelasan dan amanat Sultan Hamengkubawono X."]
[/caption]
Sebagai raja Yogyakarta, Sultan Hamengkubawono X senantiasa menjalankan kekuasaannya dengan pandangan terbuka, progresif dan demokratis. Wajar jika beliau akhirnya dipandang lebih dari sekadar pemimpin daerah, melainkandisegani sebagai tokoh nasional. Wajar juga jika akhirnya dalam beberapa pemilu terakhir, namanya pun disinggung sebagai calon Presiden.Namun sepanjang itu pula ia tetap menjalankan perannya sebagai raja yang menjaga Kraton dan pemimpin yang mengayomi rakyat.
Menjadi seorang raja dari Kraton yang sudah lebih dulu mapan sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, Sultan Hamengkubawono X bukanlah pemimpin yang berwawasan sempit. Dalam menjaga kelangsungan Kraton, Sultan sangat menjunjung demokrasi sebagai penyeimbang tradisi. Ia ingin Kraton Yogyakarta langgeng dengan cara menyelaraskan tradisi dengan kemajuan zaman. Yogyakarta pantas bersyukur memiliki pemimpin progresif dan demokratis seperti Sultan Hamengkubawono X.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H