Lihat ke Halaman Asli

Hendra Wardhana

TERVERIFIKASI

soulmateKAHITNA

Mengawinkan Buku dengan Uang Elektronik

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14310722591533354509

Pada hari Minggu, 3 Mei 2015, saya mengunjungi Pesta Buku Yogyakarta 2015 yang digelar di Balai Utara di kompleks Gedung Bakti Wanitatama, Jalan Jogja-Solo. Meski bertajuk Pesta Buku, namun tidak terlihat adanya antusiasme dan gairah yang tinggi layaknya sebuah pesta. Tak banyak pengunjung di pameran itu. Suasananya masih kalah ramai dengan toko-toko buku seperti Gramedia dan Toga Mas yang biasa saya kunjungi.

[caption id="attachment_364938" align="aligncenter" width="600" caption="Buku "100 Hari Keliling Indonesia" yang saya beli 22 April 2015 dengan menggunakan uang elektronik KGVC-Flazz (dok. pribadi)."][/caption]

Sepanjang saya mengikuti Pesta Buku Yogyakarta dari tahun 2012, pameran tahun ini adalah yang paling sepi. Tak terlalu banyak stand penerbit yang turut serta di Pesta Buku Yogyakarta 2015. Saya bahkan hanya memerlukan waktu 30 menit untuk mengelilingi seluruh stand dan membuka beberapa sampel buku di stand penerbit buku Kompas yang berada di tengah area.

Sepinya Pesta Buku Yogyakarta 2015 seolah menegaskan kembali rendahnya minat baca dan ketertarikan orang Indonesia terhadap buku. Sejumlah survey dan penelitian memang menunjukkan fakta yang tidak menggembirakan terkait minat baca masyarakat kita. Survey UNESCO menempatkan minat baca orang Indonesiasebagai salah satu yang terendah di ASEAN.

[caption id="attachment_364947" align="aligncenter" width="567" caption="Stand buku dari Penerbit Kompas dalam Pesta Buku Yogyakarta 2015 (dok. pribadi)."]

1431072957790914326

[/caption]

Rata-rata setiap orang Indonesia hanya melahap tuntas 1 buku per tahun. Jauh di bawah rata-rata negara maju di mana setiap penduduknya membaca belasan hingga puluhan buku per tahun. Untuk membaca surat kabar saja orang Indonesia tergolong malas dan menduduki urutan ke-38 dari 39 negara yang disurvey. Di Indonesia sebuah surat kabar dibaca oleh 45 orang (1:45), jauh di bawah rasio ideal yakni 1:10. Sementara itu survey UNDP menunjukkan bahwa dalam setiap 1000 orang Indonesia, hanya ada 1 orang yang benar-benar memiliki kegemaran rutin membaca.

Penyelenggaraan pameran buku atau book fair dengan menghadirkan banyak penerbit buku disertai diskon harga seperti Pesta Buku Yogyakarta 2015 sebenarnya adalah salah satu cara untuk meningkatkan minat baca masyarakat, selain gebyar diskon yang diselenggarakan toko-toko buku pada saat tertentu. Adanya pameran buku juga mempermudah masyarakat untuk mengakses buku dan sumber bacaan berkualitas terutama di daerah-daerah yang tidak memiliki banyak toko buku.

Namun pameran buku rupanya belum cukup berhasil meningkatkan minat masyarakat untuk membaca dan membeli buku. Bandingkan dengan penyelenggaraan pameran gadget dan komputer yang selalu sesak dengan ribuan pengunjung meski untuk masuk mereka harus membeli tiket. Sementara sebuah pameran buku yang tidak dikenakan tiket masuk belum mampu mengundang minat masyarakat secara maksimal.

Oleh karena itu diperlukan terobosan baru untuk meningkatkan ketertarikan masyarakat terhadap buku. Salah satu inovasi yang dapat dilakukan adalah mengkolaborasikan pameran buku atau toko buku dengan media baru yang memberikan keuntungan dan kemudahan, yakni uang elektronik.

Trend penggunaan uang elektronik di Indonesia terus tumbuh setiap tahunnya. Meskipun demikian jumlahnya masih kecil dan penetrasinya pun masih lambat. Menurut data Bank Indonesia, jumlah transaksi non tunai termasuk dengan uang elektronik di Indonesia masih di bawah 1%.

Sebagai alat pembayaran non tunai yang sedang giat diperkenalkan oleh pemerintah dan Bank Indonesia melalui Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT), uang elektronik dapat dimaksimalkan untuk mengajak masyarakat Indonesia agar lebih gemar membaca dan membeli buku.

Dengan demikian ada dua cita-cita besar yang dapat didorong secara bersamaan yakni menggencarkan penggunaan uang elektronik di tengah-tengah masyarakat dan meningkatkan minat baca orang Indonesia. Uang elektronik dan buku juga akan menjadi bagian dari gaya hidup masa depan.

Bank Indonesia bersama bank-bank penerbit uang elektronik perluberkolaborasi dengan para penerbit buku atau Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) di pusat maupun di daerah, serta toko-toko buku, untuk mengedukasi masyarakat agar menggunakan uang elektronik untuk membeli buku, surat kabar atau majalah.

Salah satu praktiknya adalah memanfaatkan pameran-pameran buku sebagai sarana untuk memperluas penetrasi uang elektronik. Dalam pameran buku nantinya stand-stand penerbit atau toko buku perlu menyediakan fasilitas pembayaran dengan uang elektronik. Tidak hanya itu, untuk lebih menarik minat masyarakat membeli buku, setiap transaksi non tunai menggunakan uang elektronik pembeli berhak mendapatkan tambahan diskon atau penawaran khusus sehingga harga buku yang dibeli menjadi lebih murah.

[caption id="attachment_364941" align="aligncenter" width="598" caption="Berbagai jenis Kompas Gramedia Value Card (KGVC) yang juga berfungsi sebagai uang elektronik. Pengguna KGVC di Toko Buku Gramedia akan mendapatkan penawaran khusus dan diskon untuk buku dari kelompok penerbit Gramedia (kgvaluecard.com)."]

14310727192106609999

[/caption]

Strategi demikian sebenarnya telah diinisiasi oleh oleh Toko Buku Gramedia dengan menggunakan Kompas Gramedia Value Card (KGVC) yang berbasis kartu uang elektronik Flazz. Dengan kartu tersebut masyarakat bisa mendapatkan buku-buku berkualitas dengan harga yang lebih murah karena pengguna KGVC mendapatkan penawaran khusus dan diskon 10-30% di Toko Buku Gramedia. KGVC pun disambut baik masyarakat. Bahkan 90% KGVC yang diterbitkan berasal dari lini Penerbit Gramedia dan Toko Buku Gramedia.

Jumlah transaksi menggunakan KGVC pun cukup tinggi.Menurut majalah SWA.co.id, transaksi KGVC di tahun 2013 menembus angka 123 miliar rupiah. Meski diskon dengan KGVC belum berlaku untuk semua jenis buku, namun konsep pembelian buku dengan KGVC bisa menjadi contoh untuk diadopsi dan dikembangkan secara lebih masif.

Memaksimalkan penggunaan uang elektronik untuk meningkatkan akses terhadap buku juga perlu dilakukan di perguruan tinggi. Di kampus, terutama yang telah menjadi pilot project Gerakan Nasional Non Tunai (GNTT), penggunaan uang elektronik perlu diperluas melalui book corner. Selama ini instrumen pembayaran non tunai dan uang elektronik di beberapa perguruan tinggi lebih banyak diterapkan untuk pembayaran biaya pendidikan, kartu transportasi dan berberlanja di swalayan kampus.

Di book corner, uang elektronik nantinya dapat digunakan oleh mahasiswa dan civitas akademika untuk membeli buku, majalah ilmiah dan jurnal penelitian dengan “harga mahasiswa”. Promosi seperti ini sangat diperlukan untuk memberikan pengalaman menggunakan uang elektronik di kalangan generasi muda. Survey MARS tahun 2013 memperlihatkan kesadaran terhadap uang elektronik di kalangan mahasiswa baru berkisar 30%. Sementara itu kebiasaan membaca buku di kalangan mahasiswa perlu untuk terus ditingkatkan.

Saya agak menyayangkan penyelenggaraan Young Urban Book Exhibiton yang digelar oleh Perpustakaan Bank Indonesia Yogyakarta pada akhir Maret 2015. Dalam pameran buku tersebut Bank Indonesiamelakukan sosialisasi Gerakan Nasional Non Tunai selama 3 hari kepada masyarakat, pelajar dan mahasiswa. Acara tersebut sebenarnya menjadi peluang berharga bagi Bank Indonesia untuk memberikan pengalaman secara langsung kepada masyarakat tentang manfaat menggunakan uang elektronik. Caranya dengan menerapkan pembayaran non tunai di stand-stand penerbit buku yang berpartisipasi dalam acara tersebut. Namun ternyata dari semua stand tidak ada satupun yang menerima pembayaran secara non tunai termasuk dengan uang elektronik. Padahal jika itu dilakukan akan menjadi kesempatan emas untuk mengedukasi masyarakat terkait penggunaan uang elektronik karena masyarakat perlu diajak untuk merasakan secara langsung manfaat uang elektronik.

Memberikan pengalaman langsung dan nyata kepada masyarakat adalah cara terbaik untuk meningkatkan kesadaran menggunakan uang elektronik. Jika masyarakat sudah merasakan dan membuktikan sendiri, mereka akan bergairan untuk menggunakannya lagi dan memberi tahu orang-orang terdekatnya.

Sosialisasi dan edukasi tentang uang elektronik perlu dilakukan dengan banyak cara. Selama ini penetrasi uang elektronik banyak bertumpu pada sektor transportasi publik dan ritel (supermarket dan minimarket). Dengan terus memaksimalkan kedua sektor tersebut, kini sudah saatnya melakukan terobosan untuk memasyarakatkan uang elektronik secara lebih luas.

[caption id="attachment_364953" align="aligncenter" width="567" caption="Pengunjung membaca dan memilih buku di stand Penerbit Kompas di Pesta Buku Yogyakarta 2015. Pameran buku perlu dimanfaatkan sebagai media untuk menggencarkan transaksi non tunai dan meningkatkan minat baca (dok. pribadi)."]

14310734881099988364

[/caption]

Strategi “mengawinkan” uang elektronik dengan buku melalui kolaborasi Bank Indonesia dengan penerbit dan toko buku akan menjadi simbiosis mutualisme yang dapat membawa manfaat lebih besar bagi masyarakat. Selain meningkatkan kesadaran penggunaan uang elektronik, juga menumbuhkan minat baca dan kesadaran membaca buku masyarakat Indonesia.

[caption id="attachment_364955" align="aligncenter" width="567" caption="Saatnya Non Tunai, Saatnya Mengawinkan Buku dengan Uang Elektronik (dok. pribadi)."]

1431074048592511753

[/caption]

Saatnya non tunai, saatnya mengawinkan buku dengan uang elektronik. Saya akan menunggu book fair selanjutnya dan berharap fasilitas pembayaran dengan uang elektronik tersedia di semua stand penerbit dan toko buku.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline