Pada Senin malam, 13 April 2015 Kompas TV telah menayangkan dokumenter Cerita Indonesia episode Yogyakarta: “Kampung Dolanan”. Tayangan tersebut spesial bagi Kompasiana karena cerita yang diangkat adalah hasil adopsi dari tulisan-tulisan di Kompasiana.
[caption id="attachment_360895" align="aligncenter" width="612" caption="Shooting Cerita Indonesia Kompas TV di sebuah angkringan di Wedi, Klaten, Jawa Tengah. Cerita Indonesia 13 April 2015 diangkat dari tulisan-tulisan di Kompasiana (dok. pribadi)."][/caption]
Saya mengetahui jadwal tayangnya sehari sebelumnya ketika menerima SMS dari Mba Yesi, salah seorang tim produksi Kompas TV yang bertugas mendokumentasikan cerita-cerita di Kompasiana ke dalam tayangan Cerita Indonesia. Pada Januari lalu, ia dan rekan-rekannya menyambangi Kompasianer Jogja untuk merajut ulang cerita-cerita menarik seputar Jogja yang kami tulis di Kompasiana.
Mba Yesi sendiri kalau di dunia artis, perannya selama shooting Cerita Indonesia kali ini mungkin bisa disamakan dengan road manager. Jadi meski badannya mungil tapi staminanya cukup kuat. Belakangan saya baru tahu kalau ia adalah bagian dari tim dokumenter 100 Hari Keliling Indonesia Kompas TV dengan bintang utama Ramon Y. Tungka.
[caption id="attachment_360866" align="aligncenter" width="536" caption="Teaser atau video promo dokumenter Cerita Indonesia Kompas TV dengan judul "]
[/caption]
Sayangnya saya tak sempat menyaksikan tayangan Cerita Indonesia episode Yogyakarta tersebut dan hanya sempat menyaksikan teaser/video promonya. Entah berapa lama dan dalam berapa segmen saya tampil di tayangan itu. Malahan sempat berharap semoga tak banyak bagian saya yang ditampilkan demi menjaga kualitas tayangan Cerita Indonesia, hehehe.
Saya ingin berbagi beberapa cerita tentang apa yang terjadi dan apa yang dilakukan di balik tayangan itu. Bagaimana sebuah adegan diambil, meski adegan itu belum tentu terpakai, serta kejadian-kejadian menarik sepanjang “shooting” Cerita Indonesia di Yogyakarta.
Bagi saya tak mudah berakting di depan kamera memperagakan sebuah alur cerita. Entah bagi Kompasianer Jogja lainnya yang turut ambil bagian. Sepengamatan saya Mas Arif L. Hakim memiliki kemampuan berlaku di depan kamera lebih baik dan natural dibanding saya.
Lebih mudah berkata-kata di depan adik-adik mahasiswa selama 2 jam nonstop daripada harus berlaku di depan kamera selama 5 menit. Lebih gampang bercerita tentang anggrek di dalam sebuah talkshow 3 jam dibanding harus beradegan di depan kamera meski cerita itu nyata dari pengalaman diri sendiri. Oleh karena itu pengalaman shooting Cerita Indonesia adalah hal baru yang berkesan dan menarik untuk diingat, termasuk dengan segala kisah “kikuk” demam kamera, suka hingga lelahnya.
Produksi Cerita Indonesia di Yogyakarta dilakukan sejak 14 Januari 2015 dan berlangsung selama kurang lebih 10 hari, melibatkan sejumlah Kompasianer beserta cerita-cerita pilihannya. Sebenarnya ada banyak tulisan tentang Yogyakarta yang hendak diangkat pada waktu itu. Namun kendala cuaca dan sejumlah Kompasianer Jogja yang tak bisa dihubungi membuat beberapa cerita akhirnya ditunda.
Ada banyak pengambilan adegan yang dilakukan di balik tayangan pendek Cerita Indonesia semalam. Menurut tim produksi, mereka mendapat pada tantangan yang tak biasa dalam membuat dokumenter ala Kompasiana ini. Durasi untuk setiap cerita tak panjang padahal menurut mereka ada banyak kekuatan cerita yang menarik jika dijadikan satu judul dokumenter tersendiri. Di sisi lain Kompas TV harus berpatokan sepenuhnya pada alur cerita sesuai apa yang dituliskan Kompasianer di Kompasiana. Itulah kelebihan sekaligus keterbatasan produksi Cerita Indonesia edisi Kompasiana.
Oleh karena itu dilakukan banyak pengambilan gambar dengan harapan mendapatkan banyak pilihan untuk memperkuat alur cerita seperti dalam setiap tulisan. Dari pengambilan gambar selama beberapa hari dan belasan jam, hanya beberapa menit dalam setiap segmen yang digunakan sebagai materi dalam tayangan Cerita Indonesia. Perumpamaannya untuk tayangan 10 menit diperlukan shooting selama berjam-jam. Berikut ini secuil cerita yang terjadi di balik layar Cerita Indonesia episode Yogyakarta edisi Kompasianer Jogja.
Setiap Kompasianer dengan cerita yang dibawakannya melakukan shooting secara terpisah pada waktu yang berbeda. Pengambilan gambar untuk dua cerita saya dilakukan selama 2 hari di beberapa tempat di dua kota, yakni Kota Yogyakarta, DIY dan Klaten, Jawa Tengah. Hari pertama di Museum Anak Kolong Tangga, Taman Budaya Yogyakarta (TBY) berlangsung sekitar 2,5 jam sementara hari kedua berlangsung 11 jam dari siang hingga jelang tengah malam.
Pengambilan gambar untuk cerita Museum Anak Kolong Tangga dilakukan pada 18 Januari 2015 mulai pukul 14.30, mundur 1,5 jam karena di hari yang sama juga dilakukan pengambilan gambar untuk cerita Mas Ari L. Hakim di Imogiri. Saya yang sudah datang sejak pukul 13.00 akhirnya menunggu di teras Taman Budaya Yogyakarta.
Ada cerita di balik pakaian yang saya kenakan saat itu. Sebelum shooting saya lebih dulu menghadiri acara di Wisma KAGAMA UGM. Tanpa sempat berganti saya tetap memakai batik hijau dan celana kain, terlihat cukup formal untuk ukuran orang yang sedang jalan-jalan.
[caption id="attachment_360870" align="aligncenter" width="498" caption="Proses pengambilan gambar Cerita Indonesia di Museum Anak Kolong Tangga, 18 Januari 2015 (dok. pribadi)."]
[/caption]
[caption id="attachment_360871" align="aligncenter" width="364" caption="Mas Maul mempersiapkan alat untuk shooting di Museum Anak Kolong Tangga (dok. pribadi)."]
[/caption]
Pengambilan adegan dimulai dari depan TBY ketika saya menyeberang melewati keramaian kendaraan yang melintas hingga halaman TBY. Ada 3 kali pengambilan gambar dari sudut yang berbeda mulai dari tampak belakang, tampak depan hingga kamera membuntuti di belakang tas punggung saya. Tas punggung ini awalnya ingin saya tinggalkan tapi Mas Maul sang kameramen memiliki ide yang membuat saya harus terus menggendong tas sepanjang shooting. Rupanya Mas Arif yang melakukan shooting di Imogiri sebelumnya juga menggunakan tas punggung. Agar tercipta transisi yang selaras maka saya pun harus melakukan yang sama.
Shooting dilanjutkan di dalam Museum Anak Kolong Tangga. Ada briefing singkat yang disampaikan Mas Maul dan Mba Yesi kepada saya sebelum shooting. Isinya tentang alur saya berjalan dan apa yang harus dilakukan ketika berjalan. Saya yang terbiasa berjalan pelan dan tak cukup ekspresif kali ini harus beradegan jalan secara pelan dengan mimik wajah dan pandangan sedemikian rupa menampilkan ekspresi orang yang kagum dengan Museum Anak Kolong Tangga.
Museum Anak Kolong Tangga memang menarik dan untuk shooting kali ini saya harus kembali menjadi orang yang baru pertama kali mengunjunginya. Hanya untuk mengambil adegan berjalan melewati bagian depan hingga loket tiket saya perlu melakukannya selama 3 kali: tampak belakang, samping dan depan. Jika ada adegan saya antri di depan beberapa orang itu sebuah kebetulan karena sore itu ternyata ada beberapa pengunjung yang datang bersamaan dengan kami. Jadilah saya diarahkan untuk ikut antri seolah-seolah hendak membeli tiket. Saya sebut seolah-olah karena tiket sudah diurus oleh Mba Yesi beberapa menit sebelumnya ketika memohon izin pengambilan gambar kepada penjaga museum.
Usai adegan berjalan dan masuk ke dalam museum, pengambilan gambar dilakukan untuk adegan aktivitas saya mengamati sejumlah koleksi. Di sini ada proses persiapan sebentar untuk saya membuka lagi tulisan di Kompasiana guna memastikan sejumlah koleksi masih ada dan sama dengan keadaan ketika saya menulisnya dahulu. Sebuah microphone badan juga dipasang di balik pakaian karena saya harus melakukan beberapa dialog atau perbincangan.
Awalnya ada 3 sesi perbincangan yang hendak dilakukan yakni dengan petugas museum, pengunjung dan tanya jawab personal antara saya dengan tim produksi. Namun karena petugas museum merasa belum memiliki kapasitas untuk mewakili pemilik museum, akhirnya sesi perbincangan tersebut tak jadi dilakukan.
Perbincangan dengan pengunjung museum sebenarnya berlangsung dengan suasana penuh rasa canggung awalnya. Selain dilakukan tanpa banyak persiapan, alur perbincangan juga tidak ditentukan alias spontan. Saya sempat tergagap di awal perbincangan ketika pengunjung yang saya ajak bicara memberikan jawaban di luar perkiraan. Itu membuat saya sempat “blank” sekian detik untuk menentukan pertanyaan berikutnya. Jika air muka saya tampak canggung, salah satunya karena hal di atas.
[caption id="attachment_360873" align="aligncenter" width="546" caption="Suasana di angkringan yang ramai sejak sebelum shooting Cerita Indonesia (dok. pribadi)."]
[/caption]
[caption id="attachment_360874" align="aligncenter" width="545" caption="Mba Yesi mengawasi jalannya shooting Cerita Indonesia di Klaten (dok. pribadi)."]
[/caption]
[caption id="attachment_360877" align="aligncenter" width="553" caption="Tim produksi Cerita Indonesia beristirahat menikmati makanan di angkringan seusai shooting (dok. pribadi)."]
[/caption]
Adegan perbincangan secara spontan kembali dilakukan saat shooting hari kedua di angkringan di Klaten. Selain berbincang dengan sang penjual angkringan, saya pun harus berdialog dengan seseorang yang ternyata petugas PNPM. Beruntung saya pernah membaca tentang PNPM sehingga memiliki sedikit pengetahuan untuk menimpali jawabannya ketika menyinggung PNPM. Tak terbayangkan jika harus kehilangan kata-kata sementara pengambilan adegan terus berlangsung. Apalagi Mas Maul tak memberikan batasan waktu untuk setiap perbincangan kecuali jika saya “menyerah”. Sama halnya dengan sesi tanya-jawab dengan Kompas TV yang berlangsung seketika. Hampir seluruh pertanyaannya baru saya ketahui saat pengambilan gambar berlangsung sehingga jawaban yang keluar pun spontan tercetus saat itu juga meski materi yang disampaikan sama dengan apa yang saya tulis di Kompasiana.
Jika ada sebuah adegan perbincangan di mana tangan saya terus bergerak entah memegang dagu atau dada itu karena kebiasaan saya ketika bicara saya lebih senang menggunakan “property” di tangan. Biasanya sambil memegang spidol atau pointer laser. Oleh karena itu dalam setiap perbincangan saya sering menggerakkan tangan mengikuti maksud perkataan. Karena kebiasaan inilah ada satu perbincangan yang terpaksa dipotong karena microphone di balik pakaian saya mendadak “berisik” terganggu oleh gerakan tangan.
Sama halnya dengan pandangan saya yang suka menyapu banyak sudut. Oleh karena itu setiap adegan perbincangan, Mas Maul dan Mas Oki sang produser berjaga di dekat kamera sambil mengarahkan tangannya untuk mengingatkan saya agar tetap fokus pada arah pandangan yang sudah ditentukan. Akting dengan alur cerita ternyata susah! Saya pun jadi mengerti mengapa bintang film profesional bayarannya tinggi!
Banyak kejadian menarik selama shooting di Museum Anak Kolong Tangga. Saya harus memperagakan banyak adegan ekspresif untuk waktu yang tidak sebentar. Sembari pengambilan gambar berlangsung, Mas Maul terus memberikan instruksi untuk mengarahkan ekspresi wajah saya. Di saat itu saya merasa Mas Maul bukan hanya sebagai kameramen tapi juga kreatif merangkap sutradara.
Ada satu kejadian menarik di mana saya harus terpana menatap sebuah koleksi museum. Ketika itu pengambilan ekspresi wajah dan mata secara frontal dilakukan dengan teknik yang agak ajaib. Bayangkan saya sedang berdiri di depan kotak display tapi sebenarnya di bawah lutut saya seorang kameramen sedang tertidur sambil mengarahkan kamera frontal ke muka saya dengan jarak sangat dekat.
Adegan tersebut diulangi lebih dari 5 kali diiringi sebuah kejadian lucu ketika Mas Maul tiba-tiba terjengkang sambil tertawa karena saya keliru memahami maksud adegan. Mengetahui hal itu saya pun ikut tertawa karena baru memahami keinginan adegan setelah Mas Maul sedikit memperagakan contohnya.
Sama berkesannya dengan pengambilan gambar ketika saya menatap sejumlah display dengan durasi agak lama sementara muka dan mata saya harus tetap “ekspresif” penuh kekaguman. Terlihat mudah tapi susah bagi saya. Apalagi ada sejumlah adegan yang diambil spontan setelah mas Maul melihat aktivitas saya yang sebenarnya tidak menjadi bagian dari pengambilan gambar. Misalnya ketika saya sedang asyik sendiri melihat sebuah koleksi mainan, ternyata itu dianggap menarik sehingga diputuskan untuk dijadikan materi adegan. Sama halnya ketika shooting hari kedua untuk cerita angkringan. Saat sedang menggulung lengan baju sambil duduk di depan laptop, Mas Maul kembali memutuskan menjadikannya sebagai adegan. Akhirnya saya pun harus mengulangi kejadian menggulung lengan baju itu untuk adegan mengetik Cerita Indonesia.
[caption id="attachment_360881" align="aligncenter" width="545" caption="Pengambilan gambar malam hari di angkringan KR Kota Jogja (dok. pribadi)."]
[/caption]
Shooting untuk cerita kedua tak kalah menarik. Bahkan saya merasakan ini seperti sebuah piknik. Selain berlangsung lebih santai, diiringi lagu-lagu KAHITNA dan Yovie Widianto di dalam mobil, dibumbui curhat dan cerita-cerita hiburan di antara kami, juga perjalanan melintasi dua kota di dua provinsi yang berbeda.
Ada 4 angkringan yang kami datangi untuk shooting selama 11 jam. Angkringan pertama ada di tepi jalan yang bersisian dengan hamparan sawah di Kecamatan Wedi, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Semestinya kami mendatangi angkringan di Cawas. Namun karena letaknya lebih jauh sementara cuaca kurang mendukung, maka kami pun memutuskan untuk mengambil adegan di Wedi yang merupakan kecamatan tetangga Cawas.
Tak disangka di angkringan tersebut kami mendapati suasana yang ideal untuk pengambilan gambar. Ketika kami tiba suasana cukup ramai dengan sejumlah orang yang sedang makan siang. Jadi suasana hidup dan ramai ala angkringan tradisional yang terekam sudah tercipta sejak awal kami datang. Tak perlu ada settingan macam-macam kecuali memilih salah seorang pengunjung yang mau menjadi lawan dialog saya.
Jika ada adegan saya menikmati nasi kucing dengan ekspresi tertentu itu adalah hasil arahan yang sebenarnya susah untuk saya kerjakan. Saya bukan pembawa acara kuliner yang mimik mukanya seperti orang belum pernah makan beberapa hari sehingga setiap berjumpa makanan selalu terlihat antusias. Apalagi saat pengambilan gambar saya harus mengunyah dengan pelan dan memainkan sendok garpu di atas nasi dan lauk. Lalu ada adegan khusus memotong tahu, menyendok nasi dan memasukkannya secara nikmat ke dalam mulut. Padahal kalau sedang makan saya tak melakukan banyak ritual seperti itu, hehe. Naasnya saya harus melakukan banyak adegan makan seperti ini. Saya pun menjadi tahu mengapa artis film kadang bisa sangat dramatis, ternyata karena setiap hal dilakukan secara detail.
Begitu detailnya hingga adegan tangan saya mengaduk es teh. Adegan itu dilakukan tersendiri dengan arahan Mas Maul di sebelah saya memberi aba-aba untuk mengaduk secara pelan. Benar sekali, ada adegan khusus mengaduk es teh dengan penuh penghayatan seperti itu. Padahal kalau minum es teh saya biasanya langsung tenggak.
Sekitar 2 jam pengambilan gambar di angkringan Wedi termasuk ketika saya harus beradegan melangkah di tepian jalan hingga kemudian menemukan ada angkringan di ujung jalan. Ada juga adegan yang diambil dengan cara saya berjalan lurus terhadap kamera digeletakkan di jalan. Itu dilakukan hanya untuk mengambil gambar langkah kaki saya.
[caption id="attachment_360884" align="aligncenter" width="528" caption="Suasana angkringan KR di malam hari ketika shooting Cerita Indonesia berlangsung (dok. pribadi)."]
[/caption]
Usai beradegan di Klaten, shooting kembali dilakukan di Kota Yogyakarta. Kali ini di angkringan Kobar di sudut stadion Kridosono. Ada sekitar 3 jam kami di tempat ini untuk mengambil sejumlah gambar dan adegan. Di tempat ini saya lebih banyak menjalani pengambilan adegan mengetik cerita dan tanya-jawab dengan Kompas TV dengan dua kali berganti pakaian dan setting tempat duduk.
Meski hanya untuk tayangan beberapa detik tapi shooting adegannya memakan waktu lama dengan banyak sudut pengambilan. Untuk adegan menulis cerita, saya mengetik pada keyboard laptop dengan arahan suara Mba Yesi yang mendiktekan tulisan saya di Kompasiana agar apa yang tampak di layar sama dengan apa yang ada di Kompasiana. Tapi untuk adegan yang hanya menampakkan tangan dan wajah saya dari depan dan samping, saya tidak mengetik tulisan Cerita Indonesia melainkan menuliskan syair-syair lagu KAHITNA sambil bernyanyi dalam hati, hehe. Jadi jika diperhatikan arah jemari saya di atas keyboard, itu akan membentuk kalimat-kalimat di lagu KAHITNA. Begitu lamanya pengambilan gambar untuk adegan ini saya bahkan bisa menyelesaikan sekitar 5 lagu KAHITNA! hehehe.
Dari angkringan Kobar shooting berlanjut di angkringan KR yang sangat terkenal di Kota Jogja. Kali ini kami ditemani dinginnya malam dan rintik hujan. Syukurlah tak ada adegan makan di sini. Saya cukup tersiksa beradegan makan penuh penghayatan, hehe. Di tempat ini saya hanya turun shooting untuk adegan jalan-jalan melihat makanan di angkringan lalu memotretnya, tentu saja di bawah rintik gerimis. Sisanya diisi oleh aktivitas Mas Maul seorang diri mengambil gambar suasana angkringan.
[caption id="attachment_360879" align="aligncenter" width="392" caption="Cerita Indonesia di angkringan Wedi, Klaten (dok. pribadi)."]
[/caption]
Malam sudah larut ketika shooting berlanjut di lokasi terakhir. Kali ini pengambilan gambar dilakukan dengan Mas Arif. Adegan makan dan minum penuh penghayatan pun kembali dilakukan meski jam sudah menunjukkan hampir pukul 10 malam. Bahkan kali ini ditambah dengan adegan mengangkat gelas dan mengambil sayur. Untuk adegan ini saya dan Mas Arif diarahkan oleh Mas Gombes mengenai cara mengangkat gelas dan minum agar terlihat manis di kamera. Maklum kami biasa makan dan minum tanpa banyak gaya, hehehe.