Siang ini saya tersentak oleh sebuah berita yang seketika membuat saya sedih. Mendengarkan berita di RRI membuat saya kembali miris pada bangsa ini. Kita ternyata benar-benar mengalami amnesia sejarah yang sangat parah.
Tapi bukan pada bangsa ini saja saya bersedih, melainkan pada diri sendiri. Dulu ketika SD dan SMP kerap menjadi pemimpin upacara Bendera di sekolah. Lalu saat 17 Agustus tiba, di alun-alun kota menjadi anggota choir menyanyikan lagu kebangsaan mengiringi pengibaran dan penurunan Bendera Merah Putih. Penuh hidmat dengan tangan penuh hormat dan seringkali haru melihatnya berkibar tak peduli di atas sana hujan atau angin kencang. Hari ini saya merasa berdosa mendengar sekaligus mengetahui kenyataan bahwa Bendera Merah Putih bukan termasuk Benda Cagar Budaya Nasional.
Setengah tak percaya mendengar berita RRI tersebut, saya lalu membuka halaman website Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan (Kemdiknas). Hasilnya saya dan kita patut untuk menyesal. Selama ini Bendera Merah Putih ternyata memang belum tercatat sebagai benda cagar budaya nasional.
Entah sebuah ironi atau benar-benar menunjukkan kegagalan kita sebagai generasi penerus perjuangan. Tim ahli yang baru dibentuk oleh kementerian pendidikan seolah mengklarifikasi ketiadaan tim ahli nasional cagar budaya sebagai alasan belum masuknya Bendera Merah Putih sebagai benda cagar budaya nasional. Haruskah menunggu sebuah tim ahli untuk memuliakan Bendera Merah Putih ?. Rasanya tidak sebanding dengan gairah pemerintah selama bertahun-tahun mempertahankan Ujian Nasional yang nyata-nyata penuh masalah.
Sayangnya ironi Merah Putih inipun membuka sederet kelalaian besar bangsa ini kepada warisan luhur yang dimilikinya. Selain Bendera Merah Putih, ternyata Candi Borobudur, Benteng Vredeburg, Situs Sangiran dan sejumlah jejak keagungan dan sejarah perjalanan bangsa Indonesia tidak dimuliakan sebagai cagar budaya nasional. Jadi apa yang selama ini kita lakukan ?. Kita kerap membanggakan diri sebagai bangsa pemilik ragam budaya dan situs besar, tapi sepanjang itu pula kita lupa menempatkannya secara luhur.
Benteng Vredeburg yang menjadi salah satu landmark kota Yogyakarta
Kita kerap berlindung di balik Merah Putih. Para mahasiswa pun kerap berteriak di jalanan dengan mengusung tongkat berujung Merah Putih. Tapi tanpa sadar kita mungkin sudah menjadi bangsa yang sangat keterlaluan. Kita menjadi manusia yang terlalu banyak melupakan sejarah. Sedihnya kita juga dipimpin oleh para penguasa yang terlampau bergairah mengurus pencitraan dan sering latah “demi merah putih”.
Di kala kita begitu bergelora mengkampanyekan 4 Pilar Kebangsaan seolah hanya itulah identitas dan wajah Indonesia, di waktu yang sama kita melucuti keluhuran Bendera Merah Putih. Kita tanpa sadar telah menganggap Bendera Merah Putih sebagai selembar kain yang hanya dijaga dan dihormati saat 17 Agustus tiba.
Di dalam warna merah dan putih itulah wajah bangsa Indonesia dilukiskan, pengorbanan para pejuang seharusnya dimuliakan dan sejarah terabadikan. Tapi nyatanya Merah Putih telah terlupakan justru oleh kita yang sudah tak perlu susah payah mengibarkannya karena tak ada lagi penjajah yang akan menembak kita dari belakang.
Bangsa ini terlihat megah dengan para pemimpin yang bertaburan gelar kehormatan. Tapi kenyataanya bangsa ini sangat keterlaluan. Bangsa ini juga tampak gagah dengan lesatan ekonomi yang begitu tinggi. Tapi kenyataanya parah.
Hari ini saya merasakan lagi betapa Indonesia seharusnya bersedih. Tak ada artinya menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar ke-2 di dunia. Tak ada maknanya memiliki banyak pemimpin bergelar Honoris Causa jika nyatanya kita telah mengabaikan Bendera Pusaka.
Jika selama puluhan tahun bangsa ini dengan sangat ringan melupakan Soekarno-Hatta, lalu harus diingatkan dulu dengan berbagai cobaan sebelum akhirnya menempatkan founding father tersebut secara luhur sebagai pahlawan nasional, apakah kita harus menanti hukuman yang lebih besar lagi untuk menempatkan Bendera Merah Putih di tempatnya yang luhur ?.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI