Lihat ke Halaman Asli

Hendra Wardhana

TERVERIFIKASI

soulmateKAHITNA

Anatomi "Pasukan Nasi Bungkus": Menculik Suara Demokrasi?

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sengaja frasa “Pasukan Nasi Bungkus” saya gunakan karena opini ini lahir setelah membaca tulisan di kompas.com mengenai puisi yang dibuat oleh Wakil Ketua Umum Gerindra, Fadli Zon untuk menyindir para akun palsu dan akun anonim yang ia sebut sebagai “Pasukan Nasi Bungkus”. Puisi dan frasa “Pasukan Nasi Bungkus” tersebut diduga kuat ditujukan untuk para pendukung pihak tertentu yang sering menanggapi dengan kontra puisi-puisi Fadli Zon serta pendapat termasuk pernyataan-pernyataannya terkait partai Gerindra dan Capres Prabowo di dunia maya.

Saya tertarik untuk memahami esensi di balik pernyataan Waketum Gerindra yang dikutip kompas.com tersebut. Dalam pernyataanya Waketum Gerindra berpendapat akun-akun Pasukan Nasi Bungkus (Panasbung) melakukan serangan-serangan pada masa Pemilu 2014. Oleh karena itu ia berharap ada penertiban terhadap akun-akun di internet sehingga pengguna internet di Indonesia tidak menyalahgunakannya.

Pandangan tentang gangguan-gangguan yang ditimbulkan oleh akun palsu mungkin telah menjadi pendapat banyak orang. Namun dalam konteks Waketum Gerindra, pandangan untuk “menertibkan” akun-akun palsu, anonim atau sejenisnya terkait “serangan” mereka sangatlah menggelitik jika dihubungkan dengan agresivitasnya melakukan “sindiran” melalui puisi-puisi yang diumbar ke ruang publik. Anatomi Puisi Pasukan Nasi Bungkus mungkin bisa digali  dari 3 aspek anatomi berikut ini.

1.“Kejutan” Media Sosial

Akun-akun palsu atau anonim bukan hal aneh lagi di media sosial dan tidak sulit dijumpai di twitter, facebook, kolom komentar portal berita on line hingga blog sosial. Akun-akun bertopeng tersebut sering ditandai dengan komentarnya yang pedas, reaktif, tak jarang mencemooh bahkan memfitnah, meski stereotype tersebut tidak berlaku sepenuhnya.

Anonimitas di media sosial bukanlah sesuatu yang haram. Tidak ada keharusan pengguna media sosial menampilkan identitasnya yang telanjang melalui nama atau foto asli. Media sosial lahir untuk menjembatani kebutuhan berekspresi dan berpendapat yang semakin disadari penting oleh masyarakat. Oleh sebab itu berpendapat melalui akun palsu atau anonim pada dasarnya adalah bagian dari kebebasan berekspresi.

Media sosial juga menjadi jawaban atas keterbatasan ruang komunikasi di media konvensional, juga menjadi sarana perjuangan menyampaikan gagasan ke ruang publik “dunia nyata” yang sering dibatasi. Jika telah disepakati bahwa media sosial adalah perwujudan ruang publik meski itu di dunia maya, maka sudah semestinya prinsip-prinsip jaminan kebebasan berekspresi dan berpendapat juga berlaku di media sosial.

Hampir tidak mungkin mengharapkan semua komentar di ruang publik bernada halus dan positif. Mustahil mengharapkan semua pengguna twitter, facebook atau blog sosial berbicara yang baik-baik saja menuruti kehendak satu orang. “Serangan” atau perbedaan pendapat bisa dilakukan oleh siapa saja bukan hanya oleh akun palsu atau anonim. Oleh karena itu pandangan Fadli Zon untuk menertibkan akun-akun palsu dan serangan-serangan yang berbeda pendapat seperti menunjukkan kondisi terkejut atau mungkin tidak siap dengan ruang publik di media sosial. Padahal dalam konteks demokrasi suara di media sosial bernilai sama dengan kebebasan menyampaikan sindiran melalui puisi. Kecuali jika ada yang tidak menghendaki banyak suara di ruang publik.

2.“Menertibkan” Akun Palsu?

Masalahnya adalah berpendapat di ruang publik termasuk media sosial seringkali tidak dibarengi dengan kepantasan. Anonim atau akun palsu memang berpotensi besar melahirkan tindakan kurang bertanggung jawab seperti mencemooh atau menebar fitnah dan permusuhan. Lalu bagaimana agar hal itu tidak terjadi?.

Nyatanya sangat sulit menertibkan atau melarang akun-akun palsu itu lahir. Pemerintah sebuah negara bisa saja meminta twitter untuk menutup akun-akun yang dipandang berseberangan pendapat atau mengancam wibawa pemerintah. Namun apakah pemerintah “mampu” dan memiliki alasan legal untuk melakukannya?. Para pengelola media sosial juga tak akan dengan mudah menghapus atau menutup sebuah akun begitu saja karena pada dasarnya media sosial lahir sebagai saluran perjuangan menyampaikan gagasan. China yang melarang twitter sekalipun tetap memberikan ruang kepada warganya dengan menyediakan jejaring sosial buatan sendiri meski dengan ketentuan yang lebih tegas.

Oleh karena itu yang lebih mungkin dilakukan adalah merumuskan aturan di media sosial bukan menebar ancaman penutupan akun yang berbeda pendapat. Aturan atau kode etik di media sosial meskipun sangat sulit diwujudkan namun hal itu sudah mulai dipikirkan oleh pengelola media sosial baik dalam bentuk tata tertib, verifikasi akun dan sebagainya. Akan tetapi aturan-aturan yang diterapkan oleh pengelola media sosial itupun bukan senjata untuk membungkam perbedaan pendapat atau menutup akun yang berseberangan pendapat. Kebebasan berekspresi tetap melandasi aturan-aturan itu. Contohnya Kompasiana yang tidak melarang penggunaan foto atau nama yang bukan sebenarnya. Juga memberikan pilihan kepada warga untuk memverifikasi akun atau menundanya. Semua itu menunjukkan pengakuan bahwa kebebasan berekspresi adalah milik semua orang termasuk mereka yang berbeda pendapat.

Pemerintah Indonesia saat ini juga menyadari hal itu. Beberapa waktu lalu Menteri Komunikasi dan Informatika pernah menyatakan akan menertibkan dan membuka topeng akun-akun palsu dan anonim di Indonesia. Namun apa yang terjadi hingga saat ini akun-akun seperti @triomacan2000 tetap saja mengaum di lini masa twitter. Menkominfo bukan tidak bisa menutup atau membuka topeng akun tersebut, tapi menyadari bahwa ruang publik di media sosial adalah bagian dari kebebasan berekspresi yang dilindungi oleh undang-undang. Di sisi lain negara memberikan jalan kepada pihak yang dirugikan oleh serangan-serangan atau fitnah pihak tertentu untuk melaporkannya ke penegak hukum. Oleh karena itu pantas dipertanyakan esensi di balik gagasan Waketum Gerindra untuk “menertibkan” akun-akun penyerang pihaknya. Jika memang dirugikan, laporkan saja para Pasukan Nasi Bungkus tersebut.

3.“Puisi” dan “Serangan”

Waketum Gerindra boleh saja menyebut puisinya adalah karya sastra yang tidak menyebut nama, tanpa caci sehingga tidak dikategorikan serangan. Namun anatomi puisi tersebut jika dilihat dengan kacamata psikologi forensik sesungguhnya terang benderang menunjukkan motif, suasana kebatinan dan isi pikiran pembuatnya. Apa yang disebut oleh Waketum Gerindra sebagai sastra bisa dipertanyakan karena sastra semestinya lahir dari kemurnian hati dan pikiran meskipun isinya adalah bentuk kritik dan umpatan sekalipun. Mana kala sejak awal tulisan dibuat dengan niat menyerang, maka sesungguhnya apa yang dilakukan Waketum Gerindra tidaklah berbeda dengan serangan yang dilakukan oleh Pasukan Nasi Bungkus.

Dengan demikian jika puisi “Pasukan Nasi Bungkus” mengandung gagasan untuk “menertibkan” akun-akun yang berbeda pendapat atau menyerang balik puisi-puisi Waketum Gerindra, maka hal itu dikhawatirkan menjadi upaya untuk menekan pihak-pihak yang berseberangan pendapat. Dan jika esensi “menertibkan” adalah menutup akun dan menghapus komentar yang tidak seirama, maka hal tersebut adalah ancaman terhadap kebebasan berpendapat dan mengekang potensi demokrasi

Pada akhirnya jika ketidaksetujuan warga yang diekspresikan sebagai pendapat kontra dianggap menyerang, cemoohan dianggap ancaman dan pernyataan dianggap gangguan, lalu semua harus “ditertibkan”, maka kesetaraan berada dalam ancaman. Siapa pun boleh berbicara, seperti halnya semua boleh menulis puisi tentang apa saja. Siapa pun boleh menyanggah pendapat bahkan berseberangan sekalipun. Dalam demokrasi hal tersebut adalah kemajuan yang pantas disyukuri, kecuali jika ada pihak yang ingin menculik perbedaan pendapat itu dari ruang publik dan memendamnya di penjara demokrasi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline