Lihat ke Halaman Asli

Model, Strategi, dan Metode Pembelajaran Fikih di Madrasah

Diperbarui: 16 Juni 2021   02:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

A. Definisi Mapel Fiqih di Madrasah

Pembelajaran merupakan suatu rangkaian yang tersusun atas beberapa unsur manusia, material, prosedur, perlengkapan serta prasarana yang saling berpengaruh sebagai solusi untuk mencapai visi dari suatu pembelajaran. Umumnya, manusia (human) tergabung di suatu sistem pembelajaran yang tersusun mulai dari peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan lainnya yang saling berkesinambungan. Material umumnya mencakup beberapa buku, dokumenter baik itu film, fotografi, audio, dan lain sebagainya. Prasarana atau fasilitas itu mencakup ruangan kelas, komputer, peralatan audio visual. Prosedur itu sendiri mencakup schedule (jadwal), strategi dan metode pembelajaran, dan lain sebagainya. Beberapa komponen diatas tentunya terjalin sebuah hubungan yang saling berpegaruh antar satu komponen dengan komponen lainnya.

Tentunya, dalam pembahasan makalah ini tidak akan jauh dari suatu obyeknya yaitu “mata pelajaran Fiqih” yang biasanya diajarkan di sekolah ataupun madrasah. Perbedaannya, jika instansinya berupa sekolah, maka studi tentang fiqih ini tercakup dalam mata studi Pendidikan Agama Islam, artinya cakupannya lebih umum dan mendasar, tidak secara spesifik dan mendalam. Sedangkan jika instansinya adalah suatu madrasah, maka “mata pelajaran Fiqih” ini berdiri sendiri dan tidak tercakup dalam pembelajaran mapel PAI. 

Artinya, Pendidikan Agama Islam di madrasah telah diuraikan dan dileburkan dalam beberapa mata pelajaran yang cakupannya dan sasarannya lebih spesifik dan mendalam atau lebih fokus pada masing-masing bidang, semisal dalam hal ini adalah mata pelajaran fiqih[1]. Begitupun dengan penerapannya, tidak hanya berpacu pada pelaksanaan atau perihal yang ada di dalam ruang kelas saja, melainkan disusun untuk menjawab beberapa hal atau kegiatan yang berkaitan dan menuju pada visi mapel fiqih ini.

Daripada itu, dalam pembahasan mata studi fiqih ini juga mayoritas tercakup aspek nilai. Hal ini tentunya menunjukkan bahwa pembelajaran ini tidak hanya mengarah pada aspek kognitif saja. Sama dengan beberapa mata pelajaran lainnya, mata pelajaran fiqih sudah selayaknya mempesentasikan tiga pilar atau tiga aspek yang menjadi tujuan pembelajaran atau pendidikan di Indonesia, yaitu mencakup aspek kognitif, afektif (sikap), dan psikomotorik. Aplikasi dari pembelajaran fiqih ini ditujukan untuk mencapai dan mengembangkan keyakinan, meningkatkan pemahaman, serta mengoptimalkan penghayatan, dan memeberikan sebuah pengalaman terkait kaidah-kaidah atau aturan-aturan yang tertuang dalam ajaran agama Islam, yang sasaran utamanya adalah manusia (peserta didik), disamping mewujudukan generasi yang berakhlakul karimah dan berkarakter di tengah perkembangan zaman. Seorang pendidik, guru ataupun pengajar mata pelajaran fiqih lah yang nantinya memiliki sebuah wewenang untuk memberikan sebuah arahan, bimbingan, serta peringatan disamping beberapa praktik (latihan) secara terencana dan secara disadari oleh pendidik kepada peserta didik, untuk mewujudkan sebuah tujuan yang diimpikan dan telah dirancang.

Fiqih adalah sebuah mata pelajaran (bidang studi) yang membahas terakit pembahasan pokok tentang kaidah, aturan, hukum Islam lengkap dengan langkah-langkah (prosedur)nya untuk diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat sebagai seorang penganut agama Islam baik laki-laki ataupun perempuan yang selalu mematuhi segala aturan-Nya dan merefleksikan beberapa ketentuan/aturan Islam secara sempurna. Mengacu pada 22 (dua puluh dua) Standar Kompetensi (SK) dan lima puluh (50) Kompetensi Dasar (KD) di dalam Standar isi tersebut bisa dianalisis terkait SK  itu berpatokan pada survey kuantitatif dapat dilihat bahwa pada umumnya, 82 persen sebagiannya, merupakan tergolong dalam fiqih “praktis/perbuatan”. Hal ini menunjukkan bahwa materi fiqih yang diterapkan memprioritaskan fiqih yang sering berkecimpung dalam pengalaman nyata pesert didik dan siap diterapkan dalam kehidupan sehari-hari (direct learning) mereka.

Akan tetapi, pembelajaran terkait ibadah contohnya adalah puasa, seharusnya tidak hanya membicarakan atau menyinggung pada ketentuan-ketentuan (syarat), rukun, sunnah, hal-hal yang memabatalkannya saja, melainkan juga membahas terkait adab dan faidah yang sesuai dengan keseharian peserta didik, supaya mereka mampu berinteraksi dan mengapresiasi aspek tatakrama (akhlak mahmudah) serta pengarahan moral dan manfaat dari ibadah tersebut. Selain itu, materi mata pelajaran fiqih seharusnya tidak hanya membahas terkait perihal perkara “primer” saja, melainkan alangkah lebih baiknya  juga membahas terkait perkara “primer”, semisal puasa sunnah serta puasa yang haram, dan lain sebagainya. Akan tetapi, terdapat suatu perkara primer dalam ruang lingkup keringanan (rukhsoh) yang belum tergabung seperti tayammumnya orang sakit yang melaksanakan sholat (yang seharusnya masuk dalam rangkaian rukhsoh) sudah teradopsi dalam pembahasan itu.

Berpedoman pada aspek pandangan psikologis, jika menganalisis substansi Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SK dan DK) yang dikhususkan bagi kelas III semester genap dan kelas V semester genap, nampak dan bisa dianalisis bahwa substansinya kurang cocok dan kurang relevan diajarkan pada peserta didik usia yang semestinya. Dalam standar kompetensi disebutkan yakni “Mengenal Puasa Ramadhan“ dan kedua Menyebutkan “Hikmah Puasa Ramadhan”. Kemudian SK dan KD kelas V semester 2 juga, yakni pertama “Menjelaskan tata cara ibadah Haji” dan kedua “Mendemonstrasikan tata cara ibadah Haji”.

Ketidaksesuaian pengarahan materi puasa khusus kelas III semester genap tersebut berlatarbelakang adanya kontradiksi antara materi satu dengan meteri lainnya, dengan kenyataan serta realnya karakter perkembangan peserta didik kelas III Madrasah Ibtidaiyah yang umumnya berumur 9 tahun. Pentingnya memahami dan mengetahui bahwa usia itu, perkembangan karakter terkait moral dan keagamaan mereka masih dalam tahap keraguan. Peserta didik yang baru saja mampu mengenal dan memahami hanya sebatas dari apa yang mereka laksanakan atau terapkan. Hal ini tentu saja berkaitan erat dengan pendapat seorang tokoh yang menyatakan bahwa, anak masih belum mempunyai tujuan atau arah mengenai pembedaan dan pembatasan subjek-subjek, refleksi, pandangan, masih berfokus dan menitiberatkan pada apa yang melekat di diri sendiri. 

Akhirnya, puasa di usia tersebut, belum menjadi sebuah keharusan (kewajiban) bagi tiap anak (individu) tersebut. Maka, alangkah lebih tepatnya, jika puasa diarahkan dan diwajibkan pada peserta didik (anak) yang telah duduk di kelas-kelas yang lebih tinggi tingkatannya, peserta didik sudah dikatakan aqil baliqh, seperti kelas V atau kelas VI. Namun, jika hal ini dijadikan sebuah praktik (latihan) pada usia dini, boleh saja, asalkan tidak telalu menekan dan menyebabkan si anak memiliki pandangan buruk terhadap “indetifikasi serta hikmah yang diperoleh dari puasa” ini.

            -Sebaran SK dan KD Fiqih MI

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline