[caption id="attachment_326678" align="aligncenter" width="680" caption="Tabula Rasa (Dok. Lifelike Pictures)"][/caption]
"Makanan Adalah Itikad Baik untuk Bertemu", demikian tagline dari film karya anak muda Indonesia, Tabula Rasa.
Pertama kali membaca tagline di poster film itu di studio XXI Pondok Indah Mall 1, saya mengiyakan, ya, memang makanan bisa menjadi pemersatu yang membuat banyak orang dari berbagai latar belakang bertemu dan menikmati kebersamaan sambil mengisi perut sampai kenyang. Sesederhana itu saya berpikirnya. Lalu film ini tentang apa ya?
Sebelum akhirnya memutuskan ikut nobar Tabula Rasa dengan itikad memeriahkan kegiatan lantaran ada yang batal hadir nonton gratisan, saya sedikit mendengar film ini tentang masakan padang, tentang kuliner. Jadi, saya siap-siang menelan ludah membayangkan makanan padang yang menggugah selera. Sudah, sampai disitu saya berandai-andai tanpa ingin googling cari tahu lebih jauh. Saya pun membiarkan film itu merasuki pikiran.
Pukul 7.15, film pun diputar tapi berhubung saya ikut bantu panitia wara wiri memastikan peserta nobar mendapat kursi yang nyaman, tidak terlalu dekat ke layar, saya tertinggal beberapa menit di awal. Saya menyaksikan bagian awal film mengisahkan orang Papua bermain bola. Lalu saya keluar dan begitu balik ke dalam teater, ada orang Papua yang berniat bunuh diri dengan mencoba melompat dari jembatan ke jalur kereta yang ada di bawahnya. Saya menebak, lokasi sudah berpindah dari Papua ke Jakarta.
Saya tak banyak tanya, meski akhirnya penasaran juga mencari tahu ke teman disamping saya. Katanya, merantau ke Jakarta mengejar mimpi menjadi pemain bola tapi gagal dan putus asa.
[caption id="attachment_326680" align="aligncenter" width="600" caption="Scene Papua di Tabula Rasa (Dok. Lifelike Pictures)"]
[/caption]
Adegan demi adegan pun saya nikmati sambil terus menerka, tentang apa ya film ini. Orang Papua, lalu ada orang Padang, warung padang (Lapau) sangat sederhana, gulai kepala ikan kakap, orang Papua putus asa yang dipekerjakan di Lapau, dapur warung padang yang sangat tradisional, seorang uni yang mengelola rumah makan padang bersama satu juru masak dan satu uda pelayan Lapau.
Setiap adegan dan alur cerita film ini mengajak penonton untuk menerka bahkan berpikir, bukan memanjakan dengan dialog yang membombardir layaknya sinetron. Film ini bikin penonton penasaran, setidaknya itu yang saya rasakan. Saya dan tokoh Hans (si pemuda Papua) sama-sama baru tahu siapa itu Uni/Mak Uwo, juru masak dan uda Natsir dari satu dialog antara Uni/Mak dan Hans di Lapau.
Saya sebagai penonton seakan menjadi bagian dalam adegan film itu. Saya sama penasarannya dengan tokoh Hans yanng baru kenal seorang peremmpuan paruh baya penolongnya, si Uni/Mak. Saya juga sama penasarannya dengan Uni/Mak, yang bertanya-tanya siapa sih Hans, kenapa dia seperti orang tak punya harapan hidup, dengan kaos merah compang campinng, berjalan tanpa arah dan tanpa alas kaki, tidur di pinggiran toko, jadi gelandangan di ibukota.
Menonton film ini membuat pikiran terikat pada alur ceritanya, bertanya-tanya, dan tak ingin beranjak karena ingin tahu jawabnya dari setiap percakapan yang terjadi dalam adegan.