Angkatan 2017, Kelas C, Pendidikan Biologi, Pasca Sarjana Universitas Negeri Yogyakarta, dimana kisah ini dimulai. Kisah dimana perbedaan itu menyenangkan. Kisah dimana karena satu tujuan perbedaan itu menjadi kekuatan. Perbedaan yang tidak menghalangi kebersamaan. Kebersamaan yang intens selama 1,5 tahun memberikan perasaan tak terlupakan
Kelas kami awalnya berisi 18 orang, akan tetapi ditengah jalan, 1 orang keluar, yang belakangan diketahui berkecimpung di dunia politik, teman kami satu lagi menempuh Pendidikan S2 di Monash University, Australia beasiswa LPDP. Keenam belas yang tersisa ( 4 pria dan 12 wanita) terus melanjutkan kisah sebagai mahasiswa berjuang meraih mimpi di sini.
Kelas kami cukup beragam dibandingkan kelas lain, lagipula ciri khas kelas kami juga berbeda dengan kelas lain. Tidak bermaksud membandingkan tetapi bagiku kelas kami memiliki ciri unik yang membuatku nyaman. Tidak bisa dipungkiri bahwa setiap komunitas akan memberikan ciri berdasarkan setiap organisme yang menghuni tempat itu. Nah, mungkin karena cocok dengan ciri komunitas maka aku merasa nyaman karena jika masuk kelas lain mungkin aku sendiri tidak akan betah.
Kelas kami multi ras, multi agama, bahkan multi bangsa (Indonesia dan Afrika), jadi kelas regular serasa kelas internasional. Kami mendapat teman dari Uganda yang mendapat beasiswa belajar di Indonesia , Kijambu Jhon namanya. Teman teman ada yang berasal dari Sumatera, Sulawesi Tengah, Jawa Tengah, Jawa Barat, Bima, Flores. Ada tiga agama yang ada di kelas kami Islam, Kristen dan Katolik.
Keberagaman tersebut tidak membuat pertemanan kami menjadi canggung, tetapi malah menjadikan kami berbagi cerita satu sama lain, mencoba makanan gratis dari daerah lain bahkan Jhon mengajari kami membuat roti khas Uganda dan mengundang kami ke acara pertemuan mahasiswa Afrika.
Ketua kelas kami juga memiliki cerita sendiri sampai terdampar di kelas kami. Seandainya tidak bercampur dengan kami mungkin tidak tertular kehebohan kami. Ketua kelas kami ini pertukaran dengan kelas lain (yang cukup anteng dan serius). Awal masuk kelas kami masih anteng dan serius, kemudian lama kelamaan tertular oleh kehebohan kami.
Satu teman kami sempat juga "menghilang" , sulit dihubungi berkaitan dengan tahap tahap penyelesaian tesis. Teman teman kami tanpa diperintah pun berusaha mencari berulang kali ke kos ataupun terus menghubungi lewat media sosial. Walaupun akhirnya hasil nihil, tetapi disini nampak bahwa pertemanan yang dibangun teman temanku ini tulus.
Aku rasa ada satu dua hal yang dapat membuat kami mampu bersama dalam perbedaan yakni pikiran terbuka. Pikiran yang terbuka membuat tidak adanya prasangka satu sama lain. Keberagaman yang ada menjadikan kami melihat sisi lain dan menikmati perbedaan tersebut dengan senyuman. Pikiran terbuka memungkinkan kami juga berpikir positif satu sama lain sehingga kebersamaan itu dipupuk dengan berlandaskan motivasi yang sama.
Cerita kebersamnan itu terhenti ketika kami akhirnya harus berjuang sendiri -- sendiri menyelesaikan tesis, menikah atau pulang kembali ke kampung halaman masing -- masing. Komunikasi masih dilakukan hanya sebatas melalui media sosial.
Perasaan ingin kuliah bercengkerama kadang terselip di tengah kesibukan sehari -- hariku. Tak ada yang bisa menggantikan keindahan dan kebahagiaan saat bersama -- sama. Energi positif selalu aku rasakan ketika bersama, entah mengerjakan tugas sampai malam di rektorat, menghadiri kelas dosen yang sangat idealis (teman teman tahu siapa), menyiapkn presentasi tugas atau hanya sekedar makan siang kebingungan mencari tempat duduk di food court. Hal -hal kecil yang tak terlupakan.
Kisah ini mengajarkan aku bagaimana perbedaan bukan untuk diperdebatkan tetapi untuk dinikmati sebagai bagian dari kisah penciptaan alam semesta dan penghargaan terhadap hakikat kehidupan manusia.