Carut marut dan banyaknya persoalan pemilihan umum (pemilu) dari tingkat kabupaten/kota, provinsi hingga ke tingkat nasional apalagi menyangkut Pilkada membuktikan sistem pemilu kita ada yang belum sempurna dibawah kendali KPU (Komisi Pemilihan Umum).
Contoh, masalah DPT yang selalu menjadi persoalan klasik dan sengketa pilkada yang selalu dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK), serta persoalan rekrutmen bagaimana kebobrokkan personel KPU terutama sikap tidak netral yang banyak kita jumpai dilapangan terutama di daerah, bahkan di pusat juga terjadi. Belum lagi contoh-contoh persoalan lain yang tidak terendus.
Contoh diatas yang semestinya harus diperbaiki karena berulang kali terjadi. Bukannya mengurangi masalah justru menambah masalah dengan melempar wacana buat calon independen dengan syarat dibubuhi meterai per KTP, kemudian terakhir wacananya per kelurahan. Padahal calon independen selama mengikuti pilkada tidak ada permasalahan. Betul apa yang dikatakan pengamat politik Ikrar Nusa Bakti di Kompas TV "mengapa tidak dari dulu! Baru sekarang dimunculkan saat lagi hangatnya calon Pilgub DKI Jakarta".
Jika dukungan KTP 650.000 orang di kali harga meterai Rp.6000 maka totalnya menjadi? Berapa dana yang harus dikeluarkan calon independen ? Sekitar 3,9 miliar. Edan....(buat beli garam seumur hidup tidak habis).
Jadi ini ada tanda tanya besar ada apa dengan KPU. Justru wacana meterai dimunculkan pihak KPU sendiri, kalau yang memunculkan pihak luar mungkin tidak ada masalah dan wajar dengan wacana tersebut. Akhirnya persoalan KPU yang sebelumnya tidak selesai malah menambah satu persoalan hingga menumpuk tidak karuan sehingga menjadi bahan perdebatan di publik. Semestinya KPU fokus dengan persoalan yang ada, jangan ikut-ikutan berprilaku seperti BPK yang sudah terkontaminasi politik.
Beberapa waktu lalu DPR ingin revisi UU pilkada soal menaikkan syarat dukungan calon independen sampai 15% hingga 20%, namun pihak KPU menentang dan menyatakan kalau bisa calon independen syaratnya dikurangi dan dipermudah. Tetapi kenyataannya sekarang jika dikaitkan dengan masalah meterai sangat bertolak belakang sekali sikap KPU. Mulai mencla mencle menjurus ke ngaco.
Tentu kita masih ingat saat pilpres 2014 ada pertemuan komisioner KPU Hadar Nafis Gumay dengan kader PDIP Trimedya Panjaitan, di restoran Satay House Senayan yang dipergoki oleh Arif Puyono kader Gerindra. Walaupun ngakunya tidak sengaja dalam pertemuan tersebut. Apakah akan terulang lagi dengan persoalan lain termasuk soal meterai?
Jadi jelas sekali ada motif politik yang dilakukan KPU untuk menjegal calon independen. Ada indikasi KPU ditunggangi Partai politik, karena tidak mungkin KPU yang banyak persoalan di internal yang tidak selesai dan ditambah harus menghadapi gugatan pilkada di MK punya waktu. Apakah punya waktu berpikir soal syarat meterai kalau tidak dibisiki ?
Kedepan mungkin kalau mau BAB di tempat umum harus pakai meterai juga.....
Hidup KPU....