Lihat ke Halaman Asli

Aku Menzalimi Hujan

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Seusai turun dari bus trans jakarta, langkah kakiku terhenti sejenak memandang langit. Hujan tumpah ruah membasahi tempatku berpijak. Aku mengurungkan niat untuk bercengkrama dengan keluarga di rumah. Tapi, entah mengapa ada kerinduan yang tak tertahan. Sejak belasan tahun lamanya, aku sungguh merindukan siraman hujan yang membasahi tubuhku. Aku bergumam dalam hati, ada hikmahnya juga payungku tertinggal. Spontan saja, aku mengambil keputusan untuk menerobos hujan. Memang tak ada sebiji zarah pun yang dapat mengubur “rindu”.

Orang-orang memandang heran, mungkin karena aku adalah satu-satunya orang yang berlari kencang tanpa alas kepala di tengah hujan. Di saat orang-orang memilih berteduh, aku justru tak mau mengikuti suara mayoritas. Aku begitu menikmati setiap bulir yang membasahi tubuhku. Namun, aku pun merasakan bahwa air hujan telah meresap hingga ke relung jiwaku yang terdalam. Jiwa yang kering kerontang karena menahan rindu yang menyeruak. Akhirnya, kerinduanku terbayarkan; kini tak ada yang memisahkan aku dengan hujan.

Kenikmatan itu sempat terusik karena aku tersandung batu. Wajar saja, aku terlalu asik berjalan bersama hujan, hingga tak sadar apa yang ada di hadapanku. Ditambah lagi, sepatu hak tinggi dan gaun panjang yang basah kuyup membuatku sulit untuk melangkah. Entah mengapa, tak terasa bulir air mataku jatuh perlahan. Aku mengutuk diriku yang begitu lemah dan hina. Seharusnya air mata itu terjatuh karena melihat “kezaliman” merajalela, sementara aku hanya duduk manis mempelajari setumpuk teori tentang “keadilan” tanpa berbuat apa-apa. Aku dengan angkuhnya berjalan di tengah hujan, tapi sesungguhnya aku hanya manusia kerdil yang begitu egois. Aku hanya ingin hujan mengobati kerinduanku kala membuncah. Setelah itu, aku tak segan mencampakkan hujan ketika aku ingin sendiri. Oh, maafkan hujan, aku telah menzalimi dirimu. Bagaimana mungkin aku bisa menegakkan keadilan, sementara tidak hanya hujan yang aku zalimi, tapi juga diriku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline