Sambil menikmati wajik ketan ini, aku jadi kepikiran sesuatu. Wajik, salah satu kue tradisional Nusantara, ada paduan rasa manis, tekstur kenyal, dan kehangatan budaya lokal. Dibuat dari beras ketan, gula merah, dan santan,Namun, di balik manisnya wajik ketan, ada kenyataan pahit yang mulai mengancam keberlangsungan kuliner tradisional ini. Kenaikan pajak hingga 12% memukul berbagai lini, mulai dari harga bahan baku, biaya produksi, hingga harga jual. Akibatnya, para pembuat wajik ketan yang sebagian besar adalah pelaku usaha kecil menengah harus berjuang lebih keras agar kue ini tetap bisa dijangkau oleh masyarakat.
Coba kita cermati dampaknya, beras ketan sebagai bahan utama mengalami kenaikan harga, didorong oleh tingginya biaya distribusi dan tambahan pajak.
Gula merah, bahan yang memberikan rasa manis khas pada wajik juga semakin mahal karena tergolong produk olahan.
Santan segar dan bahan lain ikut terdampak, membuat biaya produksi naik signifikan. Nah inilah yang dimaksud naik 1%, yang naik itu dari hulu ke hilir semua naik. Bagi masyarakat menengah ke bawah, harga wajik ketan yang semakin mahal berpotensi menghilangkan akses terhadap jajanan tradisional ini.
Mungkin sudah saatnya kita semua bertanya: apakah kebijakan yang mencekik usaha kecil seperti ini benar-benar jalan terbaik?
Sebagai masyarakat, kita bisa mendukung pelaku usaha lokal dengan terus membeli produk mereka. Namun, pemerintah juga perlu hadir, memastikan kebijakan yang ada tidak hanya memprioritaskan pendapatan negara, tetapi juga keberlanjutan budaya, tradisi, dan kesejahteraan rakyat kecil. Wajik ketan hanya simbol kecil dari kebijakan yang sangat berdampak terhadap semua lini kehidupan kita saat ini. Yang lain? tak terbayangkan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H