Lihat ke Halaman Asli

Kraiswan

TERVERIFIKASI

Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

Perbanyak Mengasihi, Kurangi Menghakimi

Diperbarui: 31 Oktober 2024   15:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semua orang ingin segala sesuatu yang sempurna, entah secara fisik, mental, hingga penampilan. Tapi, bagaimana kalau orang dilahirkan dengan kondisi tidak sempurna? Dapatkah seseorang memilih untuk lahir sempurna? 

***

Setiap bulan Oktober, gerejaku merayakan bukan keluarga. Tahun ini, sinode gerejaku menggumuli tema “Supaya Kamu Saling Mengasihi” (Yohanes 13:34).  Tema mendorong keluarga-keluarga Kristen untuk mewujudkan keluarga inklusi, khususnya bagi penyandang disabilitas.

Bagi kebanyakan kita, sangat mudah untuk mengasihi orang yang sempurna. Bagaimana dengan orang yang tidak sempurna, mampukah kita mengasihinya? Misal orang itu melakukan kesalahan. Atau, bisakah kita mengasihi orang yang tidak sempurna secara fisik atau mental (disabilitas)?

Disabilitas (difabel) merupakan kondisi keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik yang dialami seseorang dalam jangka waktu lama. Keterbatasan ini menyebabkan mereka mengalami hambatan dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar maupun melakukan aktivitas tertentu. 

Ada beberapa jenis disabilitas, di antaranya disabilitas netra (keterbatasan melihat), disabilitas rungu (keterbatasan mendengar), disabilitas daksa (keterbatasan fisik untuk bergerak), dan disabilitas intelektual (keterbatasan kognitif). Ada juga disabilitas ganda, yakni keterbatasan pada lebih dari satu hal. 

Di dalam sejarah, orang penyandang disabel mendapat perlakuan diskriminatif. Dianggap mendapat kutukan, orang tua melakukan pelanggaran atau dirinya sendiri yang berdosa. Misalnya, jika seorang perempuan sedang hamil, suaminya tidak boleh menyakiti atau membunuh hewan, nanti anaknya tidak normal.

Saat Yesus sedang berjalan bersama murid-muridNya, Ia melihat orang yang buta sejak lahir. Para murid Yesus pun bertanya, "Bapak Guru, mengapa orang ini dilahirkan buta? Apakah karena ia sendiri berdosa atau karena ibu bapaknya berdosa?" Para murid berpikir, orang yang buta sejak lahir adalah dosa dari orang tuanya maupun orang itu sendiri.

Ini adalah sikap menghakimi. Namun, budaya waktu itu pun mengajarkan demikian. Jika seseorang mengalami sakit parah yang tak kunjung sembuh, dianggap orang itu mendapat kutukan akibat dosa yang dilakukan. Di beberapa daerah mungkin juga masih meyakini hal ini.

Citra Allah, ciptaan yang sempurna

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline