Sebagai orang tua bijak, setiap kita ingin anak bisa berbagi kepada sesama. Sebab, sebagai makhluk sosial kita tidak bisa hidup sendiri. Berbagi menjadi salah satu cara untuk menjalin kehidupan sosial yang baik.
Anakku laki-laki, berusia 2,5 tahun. Selain mengajarkan kata-kata ajaib "tolong", "maaf", dan "terima kasih", kami juga sering mengajarkan anak untuk berbagi makanan maupun mainan. Dalam momen ulang tahunnya atau menjelang Natal, kami ajarkan dia berbagi kepada tetangga, kerabat, dan orang yang membutuhkan.
Kami ajarkan anak memberi makanan kepada Mbah, uang pada juru parkir maupun pengamen. Tak hanya itu, beberapa kali mengajaknya bermain ke tempat umum, kami mengajarinya bergantian dengan anak lain. Sampai di sini ia perlahan bisa menurut.
Sampai suatu hari....
"Tidak! Ini punyatu! Pergi tamu! (Ini punyaku! Pergi kamu!)," ujar anakku, keluar logat Bataknya. Astaga, orang tua mana yang tidak sedih, anaknya yang masih batita sudah diajari berbagi, sudah rajin diajak ke Sekolah Minggu, tapi bisa berkata begitu pada temannya. Alhasil, anak tetangga itu menangis meronta-ronta.
Ceritanya, suatu sore ada kerja bakti di lingkungan RT-ku. Orang dewasa membereskan depan rumah masing-masing, anak-anak bermain. Ada yang bermain sepeda, mobil-mobilan, maupun sekedar duduk. Anakku suka keluar masuk ke rumah tetangga--yang mana punya banyak mainan--lalu mengambil mainan yang diinginkan. Miniatur pespa, mobil-mobilan, setir mobil mainan, dan banyak lagi. Itu pun tanpa izin meski kami sudah mengajari, sehingga kami yang memintakan izin. Syukurnya, tetangga kami ramah dan pengertian.
Sore itu, anak kami mengambil senapan mainan yang bisa berbunyi seperti kitiran (kincir). Hari-hari ini, ia suka menonton Go Go Dino, sehingga punya imajinasi menembak musuh. Mulai dari tongkat bambu, guling kecil, sampai centong jamu mamanya dipakai bak senapan. "Dor dor dor dor!" ujarnya menirukan suara tembakan.
Melihat senapan mainan itu, apalagi bisa berbunyi, riang gembira anak kami. Dibawanya mainan itu masuk ke rumah. Lalu anak tetanggaku lainnya masuk ke rumah kami. Ia sudah biasa main ke rumah, sebagaimana anak kami juga biasa main ke rumah Kakungnya. Beberapa waktu lalu, anak kami bisa berbagi bola dengan temannya ini, istriku mendokumentasikannya.
Kali ini, anak kami enggan berbagi. Ia mengklaim mainan itu miliknya, tidak boleh dipinjam. Padahal dia juga meminjam dari orang lain. Syapek deh!
Kenapa tidak dibelikan mainan sendiri?
Jujurly, kami tidak punya uang berlebih untuk membeli mainan. Lagi pula, anak kami mendapat banyak pemberian mainan dari adik kami, kakak rohani, tetangga, dan teman-teman kami yang sangat murah hati. Makin banyak mainan, makin berantakan rumah.