"Emang ya, si Anu itu menantu tak tahu diri! Dimintai tolong oleh mertua kok diabaikan."
***
Ungkapan tersebut populer di kalangan emak-emak. Topiknya tidak jauh dari relasi menantu (biasanya perempuan) dengan mertua (perempuan juga). Entah karena urusan dapur, perkakas, mengasuh anak, sampai....keuangan. Itu sering terjadi jika anak yang sudah menikah tinggal dalam satu atap.
Maka, tepatlah ungkapan
Bukan Perang Dunia III, yang lebih berbahaya dari Perang Dunia II adalah dua perempuan dalam satu rumah.
Dua perempuan itu tak lain mertua dan menantu. Ngeri.
Mengapa ancaman yang lebih berbahaya dari PD II itu bisa terjadi? Sebab, perempuan menerima mandat budaya menjadi penguasa rumah. Bagaimana mungkin ada dua penguasa dalam satu kerajaan?
Bicara urusan mertua-menantu pada umumnya sudah repot. Biasanya perempuan itu banyak bicara, semua dikomentari. Apalagi jika beda adat, Jawa dan Batak. Seperti kita tahu, Jawa dan Batak punya temperamen bertolakbelakang. Jawa dikenal kalem dan lembut. Sedangkan Batak dikenal galak dan keras.
Betulkah kalau mertua dan menantu berbeda adat, lalu bakal menimbulkan banyak masalah? Sebaliknya, kalau adatnya sama, apakah otomatis klop?
Aku dan istri (beda adat) sudah berhasil melewati fase gap adat hingga kami dikaruniai seorang anak lelaki. Aku tuliskan kisahnya dalam serial artikel "Beda Adat, Siapa Takut?" (Sila mampir) Kali ini aku akan membagikan kisah, mertua dan menantu berbeda adat bisa klop. Kok bisa?
1) Merelakan anak
Banyak hubungan mertua dan menantu tidak harmonis, bisa jadi karena old mindset. Salah satunya: Ibu merasa paling tahu tentang anak. Semua tentang anak maunya diurus oleh Ibu. Meski sudah menikah, Ibu masih ingin campur tangan dalam kehidupan anak. Sebab, Ibu yang telah melahirkan dan membesarkan anak.
Benarkah ungkapan tersebut? Tidak.