Waktu SD, aku malas pergi ke Sekolah Minggu. Pertama, aku minoritas di lingkunganku. Kedua, tak punya teman akrab. Ketiga, ada tayangan kartun favorit (Dragon Ball salah satunya). Keempat, malas jalan kaki (rumahku paling jauh). Kelima, kurang dukungan dari orang tua.
Mau ke Sekolah Minggu saja, banyak kali alasannya. Perintah ibu, "Ayo kamu belajar di Sekolah Minggu. Ini uang buat persembahan." tidak mempan. Karena sudah malas, aku pun setengah hati berangkat. Waktu itu sumber airnya masih pemandian umum, berjarak sekitar 20 meter dari rumah. Belum kalau antri.
Meski malas, aku pergi juga. Dari pada ibu makin mengomel. Ngeri. Karena ogah-ogahan, aku telat. Mendekati gedung gereja, teman-teman sudah menyanyikan lagu.
Di sinilah si jahat menggoda anak yang lemah imannya. Masuk gereja atau tidak? Kalau masuk, kok malu karena telat. Kalau pulang, ibu bakal mencak-mencak.
Suara di sebelah kanan, "Ayo masuk saja. Tidak apa-apa. Teman dan guru Sekolah Minggu bakal maklum."Sedang di sebelah kiri, "Sudah, pulang saja. Kamu sudah telat. Malu-maluin."
Pelajaran moral #1, kalau ada bisikan yang membujukmu untuk bertindak menyimpang, melanggar aturan, meski terkesan enak; jangan ikuti!
Entah kenapa, suara di kiri yang aku turuti. Sesat. Sebagai melankolis, aku betulan malu dan takut kalau datang telat. Pasti diejek dan ditertawakan teman-teman. Meski saat itu belum mengenal bullying, tapi aku sudah lemah mental.
Alih-alih masuk ke gedung gereja, aku putar kanan. Supaya tidak ketahuan kenapa pulang cepat, aku mampir warung. Uang yang harusnya dipakai untuk persembahan, aku buat jajan. Nongkrong dulu di warung, sekitar satu jam, baru pulang. Dengan begitu, ibu takkan curiga. Takkan ada omelan. (Ini tidak baik, jangan ditiru!) Dosanya jadi dobel. Pertama, bolos Sekolah Minggu. Kedua, menyalahgunakan uang persembahan. Bahkan tiga, berbohong pada ibu.
Kecilnya saja sudah tidak taat (dunia membaca: nakal), bagaimana kalau nanti punya anak? Akankah anaknya ikut nakal dan suka bolos juga?
Momen Tuhan menangkapku
Kalau tidak bertobat, aku bisa makin terperosok jatuh ke dalam dosa. Anakku bisa mengikuti kenakalanku, bahkan lebih parah.