Lihat ke Halaman Asli

Kris Wantoro Sumbayak

TERVERIFIKASI

Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

Kamu Boleh Main Bebas, Tapi Harus Tahu Batas

Diperbarui: 18 Januari 2024   16:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi kegiatan anak SD | foto: homecare24.id

Guruku menyebalkan. Kalau mengajar membosankan, materinya banyak. Bercanda sedikit tidak boleh. Mau main pun dibatasi. Kaku. Kadang, baik sih.

***

Bisa jadi, itu yang dipikirkan dan dialami kebanyakan muridku. Tidak hanya dalam pelajaran Tematik, tapi di jam istirahat pun mata dan telingaku jeli atas tiap gerak para murid. Aku punya CCTV berjalan. Sekali tidak patuh aturan, siap-siap saja menerima teguranku.

Sekolah, bagaimana pun adalah hal yang menyenangkan. Bisa bertemu teman, mengobrol dan bercanda. Bisa makan bareng teman. Bisa curhat. Bisa TP TP (tebar pesona) ke doi. Cuma satu yang tidak asyik: pelajaran.

Lha kamu ke sekolah mau belajar apa bermain?, bentak guru pada pikiran murid yang berkecamuk.

Mau menyenangkan atau tidak, seru atau menyebalkan, berwarna atau kelabu; masa sekolah akan tetap menjadi kenangan. Para murid yang banyak tingkah dan berani melewati garis, biasanya yang akan mendapat lebih banyak kenangan dan momen berkesan. Mereka ini tidak berarti nakal ya. Guru tidak boleh memberi label demikian.

Anak-anak dengan tingkat kecerdasan majemuk di atas rata-rata biasanya punya rasa ingin tahu yang tinggi, ekspresif, menyukai tantangan dan mencoba hal baru, tidak takut terluka, tidak khawatir dimarahi guru, meski kadang agak berisik di kelas.

Inovasi Kemendikbudristek melalui hadirnya Kurikulum Merdeka memberi ruang bagi guru dan murid untuk perlahan-lahan merdeka dalam melakukan Proses Belajar Mengajar (PBM). Pembelajaran berdiferensiasi, memungkinkan guru melakukan multi-metode dalam mengajar maupun penilaian. Pembelajaran tidak harus selalu searah dan di dalam kelas. Murid boleh mengungkapkan pendapatnya, atau ikut menjelaskan di kelas terkait topik yang dipelajari. 

Penilaian yang selama ini dilakukan secara tertulis, bisa dikembangkan dalam bentuk yang lain. Misalnya presentasi, membuat poster, story telling, membuat puisi, cerpen, maket/diorama dan seterusnya yang cocok dengan kondisi masing-masing siswa dan mata pelajaran. Di sekolahku, penilaian untuk mata pelajaran bahasa (Inggris, Mandarin, Jawa) sudah menggunakan metode asesmen, bukan lagi tertulis. Ini adalah sebuah inovasi. Murid dengan segala keberagaman dan keunikannya tidak bisa diuji hanya dengan satu metode tertulis.

Tapi, kemerdekaan ini tidak boleh diartikan bertindak semaunya lalu menjadi tidak disiplin. Beberapa waktu lalu aku menegur beberapa murid kelas 6 yang aku ajar saat jam istirahat. Apa sebab?

Sekolah kami adalah model sekolah komplek, dipakai bersama untuk unit TK-SMP. Tidak punya banyak ruang dan halaman layaknya sekolah negeri. Area bermain anak-anak ada di lorong dan playground. Lapangan di lantai 4 bisa dipakai khusus saat pelajaran olahraga atau olahraga bersama di hari Jumat. Mungkin merasa sudah hafal setiap sudut area bermain, sampai menjadi bosan mereka pun melangkah melewati garis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline