Sejarah hanyalah sejarah, jika wisata sejarah ditinggalkan demi wisata modern.
***
Aku tidak suka sejarah. Sebab, cara guruku mengajar yang monolog. Namun, mulai suka sejarah sejak suka membaca dan harus mengajar sejarah untuk anak SD.
Sejarah memang kenangan masa lalu. Namun nilainya penting sebagai panduan untuk masa kini dan masa depan. Jangan sekali-kali melupakan sejarah, ujar Soekarno.
Wisata sejarah mungkin tidak seatraktif wisata modern dengan beragam wahana yang memacu adrenalin, Instagramable, maupun interaktif. Benda-benda di museum, misalnya. Kumpulan benda mati itu tidak menarik dari sisi mana pun. Sedangkan saat ini media sosial dan beragam aplikasi menampilkan sajian yang lebih menarik.
Sebutlah Tiktok, Instagram, dan Youtube. Meski menarik, alih-alih mendidik, konten yang disuguhkan di sana justru menjerumuskan, jika tak mau disebut membodohi. Nilai edukasi dan hiburannya minim, kebanyakan justru destruktif.
Tak sedikit konten di medsos yang menampilkan adegan kekerasan, pornografi, kata-kata kasar, hingga paham LGBT. Konten kartun yang mana untuk anak-anak pun tak luput dari "virus" ini.
Kita tidak ingin anak kita dibentuk dengan cara-cara yang merusak. Setuju?
Itulah sebab, kami tidak rela membiarkan anak tenang di depan layar HP. Khususnya di masa liburan ini. Kami selingi kegiatan anak dengan berkunjung ke tempat Mbah dan berwisata di sekitar tempat tinggal.
Suatu akhir pekan kami memutuskan mengajak anak berkunjung ke Museum Palagan Ambarawa dengan mengajak serta Mbah. Tujuan utamanya tentu refreshing. Kedua, mengajak Mbah jalan-jalan, supaya tidak kerja terus. Ketiga, edukasi sejarah pada anak.