Lihat ke Halaman Asli

Kris Wantoro Sumbayak

TERVERIFIKASI

Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

Stunting Mustahil Dipecahkan Jika Anggaran Terus "Digunting"

Diperbarui: 9 Desember 2023   23:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi pemberian makanan untuk mencegah stunting | foto: KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Indonesia adalah negara yang kaya budaya, Sumber Daya Manusia (SDM) hingga Sumber Daya Alam (SDA). Tapi masalah stunting masih menghantui masyarakat.

Stunting diartikan kondisi gagal tumbuh yang terjadi pada balita. Penyebab utamanya yakni kekurangan gizi kronis, sehingga badan anak terlalu pendek menurut usianya. Kekurangan gizi ini dapat terjadi sejak bayi masih dalam kandungan hingga masa awal setelah lahir. Namun, status stunting baru terdeteksi ketika anak berusia dua tahun.

Fasilitator Kemensos Mujiastuti berujar, dampak jangka panjang dari stunting adalah risiko terkena penyakit degeneratif hingga gangguan perkembangan kognitif, sehingga bisa berimbas pada penurunan ekonomi suatu bangsa di masa depan.

Menurut data UNICEF, WHO dan World Bank tahun 2021, perkiraan angka prevalensi stunting di Indonesia adalah 31,8% pada 2020. Angka ini merupakan kasus tinggi (high), sedangkan menurut WHO kasus rendah adalah kurang dari 20%.

Di Indonesia, angka prevalensi pada 2020 ini sudah menurun, sebab pada 2021 sebesar 24,4%, pada 2019 sebesar 27,7%. Meski begitu, nilai ini masih di atas beberapa negara tetangga seperti Vietnam (23%), Malaysia (17%), Thailannd (16%), dan Singapura (4%).

Stunting sendiri disebabkan faktor multidimensi utamanya akibat gizi buruk yang dialami ibu hamil maupun balita. Selain gizi buruk, lingkungan tempat balita dibesarkan pada 1000 hari pertama kehidupan (HPK) menjadi faktor penentu seorang balita terkena stunting atau tidak.

Selain gizi buruk, ada empat faktor penyebab stunting. Pertama, praktik pengasuhan kurang baik. Kedua, terbatasnya layanan kesehatan selama masa kehamilan ibu. Ketiga, kurangnya akses keluarga pada makanan bergizi. Keempat, terbatasnya akses pada air bersih dan sanitasi.

Praktik pengasuhan yang kurang baik disebabkan kurangnya pengetahuan ibu tentang kesehatan dan gizi sebelum kehamilan dan proses kehamilan hingga melahirkan. Merujuk data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) pada 2017, 60% anak usia 0-6 bulan tidak mendapat ASI.

Selain itu, 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima makanan pendamping ASI yang mestinya diberikan sejak 6 bulan. Tak hanya untuk mengenalkan jenis makanan baru pada balita, pemberian MP-ASI sejak usia 6 bulan juga dapat memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang sudah tidak mendapat ASI.

Terkait faktor kedua, saat ini masih terbatas layanan kesehatan pada ibu hamil dan pembelajaran mandiri untuk mendampingi masa kehamilan hingga melahirkan. Di level desa, Posyandu harusnya menjadi jawaban atas masalah ini. Sayang, PPID Kemenkes 2020 mencatat hanya 51% kabupaten/kota di Indonesia yang aktif melakukan Posyandu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline