Tugas sekolah yang paling tidak kusuka adalah menyanyi. Itu setelah daftar mengerjakan soal matematika, menghafal, olahraga, maupun berpidato. Maksud? Aku tidak suka tugas. (Baca: tidak sanggup mengerjakan)
Mau bagaimana, aku dilahirkan dengan pembawaan melankolis. Eksklusif, tidak suka keramaian dan sensitif. Sulit beradaptasi di tempat atau dengan orang baru.
Banyak perlakuan dari teman, kerabat, bahkan guru yang bukannya membuatku makin percaya diri, justru makin minder. Tak jarang, mereka mengejekku, membawa-bawa ayahku pula. Tumbuhlah aku menjadi peminder.
Era itu, tahun 2000-an belum tercipta istilah bullying. Jadi bercanda dianggap biasa. Kalau jadi peminder, ya nasib!
Satu tugas yang aku takkan lupa adalah menyanyi lagu bahasa Jawa. Meski orang Jawa, aku tidak menguasai komunikasi, kosakata maupun lagu bahasa Jawa. Guru kami hanya mencontohkan sekali, esoknya langsung penilaian. Tidak ada iringan musik, atau audio sebagai bantuan, boro-boro video.
Buta nada, lupa lirik, takut salah; bukan urusan guru. Meski begitu, kami melakukan juga. Mengeluh? Tidak ada di kamus. Protes? Jangan harap. Perkataan guru bak sabda dari yang kuasa, mustahil dibantah.
Giliranku tiba, aku maju ke depan dengan langkah gontai. Jiwaku gentar, badanku gemetar.
Seperti kambing yang mau dikorbankan rasanya. Bicara saja aku fales, ini disuruh menyanyi. Tanpa iringan, dalam cengkok bahasa Jawa pula. Siap-siap ditertawakan oleh teman dan guru. Malunya...
***
Minggu ini, di sekolahku adalah jadwal asesmen praktik, khususnya mapel bahasa dan seni. Di pelajaran Tematik, muatan SBdP (Seni Budaya dan Prakarya) aku meminta para murid praktik menyanyi di depan teman-temannya di kelas.