Lihat ke Halaman Asli

Kris Wantoro Sumbayak

TERVERIFIKASI

Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

Beda Adat, Siapa Takut? #28

Diperbarui: 19 Juni 2023   13:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjadi relawan pengajar gempa di Lombok, September 2018 | dokumentasi pribadi

Terpisah sejauh 510 km (setara tujuh jam perjalanan darat) Salatiga-Jakarta belum ada apa-apanya bagi relasi kami, khususnya bagi Kris.

Semasih menjadi koordinator PPA, waktu Kris lebih longar untuk mengatur jadwal mengunjungi Yanti di Jakarta. Atau Yanti yang ganti mengunjungi Kris di Salatiga. Ini sesuai komitmen kami dalam menjalin LDR, 1-2 bulan sekali akan saling mengunjungi. Namun, beda cerita saat kami harus terpisah antar-pulau.

Kenapa tiba-tiba bisa LDR antar-pulau?

Masa pencarian pekerjaan yang terjadi berbulan-bulan ini belum juga memberikan hasil. Kalau bekerja seadanya, daripada menganggur, pasti dapat. Tapi aku menuruti nasihat ibuku supaya bekerja yang sesuai dengan gelar. Memangnya kalau bekerja di pabrik salahnya apa?

Aku sudah berdoa dan berusaha, melamar pekerjaan tidak hanya di satu tempat. Apa maksud dan kehendak Tuhan atas keadaanku saat ini?

Dalam masa itu, aku mendapat informasi sebuah program dari ibu mentorku. (Mentor ini salah satu orang lalu dulu memanggilku kembali ke PPA.) Yaitu menjadi relawan pengajar bagi korban gempa di Lombok, September 2018.

Program ini menarik bagiku. Pertama, sesuai dengan bidang dan keahlianku yaitu mengajar. Aku juga punya kerinduan mengabdi di bidang pendidikan di luar Jawa. Kedua, Lombok, yang katanya memiliki pesona pantai yang indah. (Ini pertama kali Kris akan naik pesawat juga, hehe) Daripada menganggur, bukankah aku akan lebih berguna bergabung dalam program ini?

Namun, programnya berlangsung tiga bulan. Ini bakal jadi masalah baru. Selama tiga bulan aku tidak akan punya pekerjaan (tidak bisa menabung) dan tidak bisa berjumpa dengan Yanti. Lalu, daerah yang dituju adalah daerah rawan bencana. Bisa saja bahaya menimpa Kris. Jika sampai terjadi sesuatu, kasihan bapak-ibuku, juga Yanti. Saking lebay-nya, aku menulis email pada Yanti, yang justru membuatnya cemas.

Situasi paradoks. Entah saking girangnya, tanpa meminta persetujuan Yanti lebih dulu, Kris langsung mendaftar program tersebut. Keesokan harinya wawancara di Semarang, dan puji Tuhan diterima. Untuk menjadi relawan dalam program ini harus mengumpulkan CV. Keren.

Kris tidak sempat (atau tidak mau?) menanyakan pendapat Yanti, karena pasti akan ada banyak komentar dan keberatan darinya. Begitu diterima, barulah Kris bercerita padanya. Hal ini membuat Yanti kecewa dan marah pada Kris.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline