Melihat Kris dari jauh di stasiun Bogor, rasanya dia agak lebih tinggi dari terakhir kali Yanti melihatnya. Entah karena potongan rambut dan kumis yang rapi, Yanti melihat ada aura yang berbeda dari Kris. Meski begitu, Yanti mencoba tetap bersikap wajar.
"Halo bro, apa kabar?" sapa Yanti. Aku sengaja memanggilnya 'bro' agar tidak canggung. Beranjak dari stasiun, kami mampir sarapan di sebuah warung soto. Lebih lama aku mengoceh demi menjawab rasa ingin tahu Kris akan kisahku, dibanding kecepatanku memindahkan isi mangkok ke dalam perut.
Selesai sarapan, Kris menumpang mandi di kontrakanku. Lalu seharian itu aku mengantarnya berkeliling Kebun Raya Bogor (KRB). Sorenya, saat kembali ke rumah hujan turun sangat deras. Aku harus mengurus kolam ikan, memastikan tidak ada saluran yang tersumbat yang bisa menyebabkan banjir dan banyak ikan lepas dari kolam. Sedang Kris menunggu di teras. (Ini cowok kok tidak peka ya, dibantu apa gitu...)
Setelah selesai mengurus kolam, kami mengobrol di teras. Dalam hatiku, kapan dia ngomongnya nih? Aku punya firasat, kedatangan Kris ke bogor bukan cuma mau ke KRB. Pasti ada maksud tersembunyi. Aku pun jadi harap-harap cemas.
Sepanjang sore hujan deras, kami lewati waktu dengan mengobrol ngalor-ngidul. Hari pun mulai gelap, adzan maghrib mulai berkumandang. Menjelang pamit, akhirnya Kris buka suara.
Disebabkan bajuku basah kena hujan saat mengurus kolam, Kris memintaku mengganti dengan yang kering. (Mau mengulur waktu nih kayaknya) Aku selesai ganti baju. Aku kembali ke teras sambil menguncir rambut. Tiba-tiba Kris mengambil alih, "Yan, duduk dulu, ada yang mau aku omongin. Penting." Nah kan, benar ada sesuatunya...
Menurut pengakuan Kris, sudah hampir setahun dia mendoakanku sebagai calon Pasangan Hidup. Aneh juga, bagaimana dia bisa tiba-tiba mendoakanku, sedang pertemuan kami hanya dalam hitungan jari. Sampai dia selesai ngomong aku berusaha bersikap normal, tidak ingin menunjukkan reaksi berlebihan, meski sebenarnya dag-dig-dug juga.
Atas pengakuan Kris, aku meminta waktu untuk mendoakan secara pribadi selama 100 hari. Aku juga mengajukan pertanyaan padanya. Mengapa dia mendoakanku, sedangkan kami terpisah Bogor-Surabaya? Apakah Kris akan tetap maju atau menyerah?
Dalam perjalanan pulang ke Salatiga, aku mengantar Kris ke stasiun. Hingga tiba dan berpisah di stasiun, dari lubuk hati aku merasa ada sosok yang memberi perhatian padaku. Tapi logikaku memaksa berkata, "Biasa saja". Mungkinkah aku yang kurang peka atau bebal?
Namun, sekembalinya ke rumah aku merasakan suasana hatiku, jujur saja, bahagia! Sebenarnya gejolak macam apa yang aku rasakan?