Sewaktu mengurus KK dan KTP baru, aku kaget mendapati ada bidang pekerjaan baru yang tercantum di KTP istriku. "Mengurus rumah tangga", menggeser predikat "ibu rumah tangga".
Entahkah pemerintah punya maksud khusus, atau sekedar mengganti namanya---seperti biasa. Yang jelas, rumah tangga harus diurus. Dan sosok yang paling cocok untuk tugas ini adalah perempuan (para istri).
Menjadi sarjana, tapi tidak bekerja
Banyak yang menilai, perempuan yang sudah kuliah hingga menjadi sarjana tapi lalu menjadi ibu rumah tangga itu rugi. Buat apa sekolah tinggi-tinggi, menghabiskan banyak waktu, tenaga dan biaya kalau ujungnya hanya berpakaian daster mengurus dapur...?
Memangnya, mengurus rumah tangga tidak butuh ilmu dan keterampilan?
Aku tidak bermaksud menyinggung para istri yang bekerja. Justru aku kagum, sudah lelah bekerja masih harus mengurus rumah tangga. Entah dengan bantuan helper atau tidak, perempuan memang sosok yang tangguh.
Istriku berhasil meraih gelar sarjana dari Fakultas Kesehatan Masyarakat di salah satu kampus negeri di Semarang. Merantau jauh dari kampung di Sumatra Utara hingga lulus, itu semua berkat kemurahan Tuhan. Meski menjadi sarjana, istriku tidak bekerja.
Mendapat gelar sarjana artinya telah mengantongi ilmu yang lebih tinggi, berpotensi untuk bekerja dan mendapat gaji yang sesuai. Memilih untuk tidak bekerja bukanlah hal yang mudah.
Secara internal, ada risiko menjadi bosan bahkan baby blues karena mengurus anak dan rumah 24 jam seminggu. Sedangkan secara eksternal, ada kemungkinan gaji suami kurang untuk memenuhi kebutuhan harian. Belum lagi, tidak bisa bersosialisasi dengan teman kerja. Pemandangannya hanya anak dengan beragam tingkah, dapur, cucian dan rumah yang berantakan. Ngeri ya...
Komitmen mengurus rumah tangga setelah menikah