Pekerjaan di Surabaya membuat Kris percaya diri dalam hal finansial maupun jejaring. Dengan gaji yang diterima tiap bulan, memudahkanku merencanakan bertemu Yanti saat liburan atau di jadwal yang kami sepakati. Namun, apa jadinya jika Kris ditarik kembali ke "kandang yang sempit"?
Dalam tahun keduaku sebagai guru SMP, aku dipanggil untuk melayani di salah satu Pusat Pengembangan Anak (PPA) Salatiga di gerejaku, Yayasan Compassion Indonesia, sebagai koordinator. Yayasan Compassion bermitra dengan gereja lokal. Yayasan ini menyalurkan dana dari para sponsor di luar negeri untuk diberikan pada anak-anak yang keluarganya lemah secara perekonomian di banyak negara, salah satunya Indonesia.
Uniknya, sponsor di yayasan ini tidak semua keluarga berada/ miliarder. Ada juga perorangan bahkan anak-anak yang memang punya hati untuk memberi yang menjadi sponsor. Hanya mereka yang hatinya sudah disentuh Tuhan yang bisa menyisihkan rezekinya untuk orang lain, tak soal berkelimpahan atau sederhana.
Kondisi di PPA gerejaku saat itu sangat genting dan rumit. Pendeta yang menjabat saat itu sedang dalam transisi untuk pindah pelayanan di gereja lain. Lalu koordinator yang menjabat saat itu mendadak mengundurkan diri karena ada kepentingan pribadi. Jika tidak segera didapatkan koordinator pengganti, PPA akan diakhiri kemitraannya. Selain itu, masih banyak permasalahan yang terjadi di PPA.
So what?
Jika PPA diakhiri kemitraannya, bukan aku yang harus bertanggung jawab. Aku tidak melakukan tindakan apa pun yang merugikan lembaga PPA, yang membuatnya terancam ditutup.
Omong-omong, aku adalah salah satu anak (disebut menti) yang mengikuti program PPA. Aku diberkati dalam banyak hal melalui PPA. Aku menyelesaikan program sebagai menti sampai completion (mencapai usia maksimal) dan melakukan setiap kewajiban sebagaimana seharusnya. Jadi dalam hal ini aku tidak punya ikatan apa pun dengan PPA.
Yang membuatku jengkel adalah rekan pelayananku yang terakhir menjadi koordinator yang akan kugantikan. Dia cabut dari PPA demi mengejar hal yang lebih besar dengan menyisakan banyak masalah.
Tapi, kenapa aku yang dipanggil untuk menjadi koordinator? Pengalaman, minim. Usia, masih muda. Jiwa kepemimpinan, masih amatir. Katanya, aku dipercaya memiliki kapabilitas untuk menjabat sebagai koordinator. Jangan membayangkan seperti kondisi di perusahaan besar. Ini lembaga pelayanan, jadi meski jabatannya koordinator upahnya minim.
Dalam kondisi ini mental dan imanku diuji. Aku baru saja menikmati karir sebagai guru di Surabaya. Hendak menabung untuk mempersiapkan pernikahan kelak. Tapi nuraniku lalu diketuk dengan 200-an anak menti yang dinaungi PPA.