Artikel ini bertolak belakang dengan artikelku sebelumnya tentang utang/ hutang (di sini). Dalam artikelku itu, aku menghayati bahwa hidup paling enak adalah yang tanpa hutang. Namun, ada sudut pandang lain tentang hutang yang layak disimak.
Indonesia sebagai negara berkembang takkan bisa menjalankan roda perekonomian jika tidak berhutang pada negara lain.
Seorang pengusaha takkan bisa menjalankan usahanya untuk membangun toko, ruang produksi, peralatan dan gaji pegawai jika tidak berhutang. Garis bawahi, selama hutang diikuti tanggung jawab untuk membayar berarti sah saja.
Ayahku tak punya hutang, kerena prinsipnya dia tidak mau hidup dengan berhutang. Meski begitu beban pikirannya tinggi karena semua dipikirkan dan ditahan-tahan.
Untuk membeli sepeda motor misalnya, dia rela menabung bertahun-tahun sampai punya cukup uang untuk membeli motor baru secara tunai. Sebelumnya ia sabar memakai motor butut untuk mobilitasnya. Sering macet, rusak dan kendala lain menjadi menu wajib.
Prinsip ayahku wajar, sebab dia hanya pekerja serabutan. Bukan pegawai yang punya gaji tetap berikut tunjangannya.
Namun, efek sampingnya adalah ayahku sering mengabaikan hal-hal yang menjadi kebutuhan, tak kunjung dipenuhi karena tidak ada biaya, dan tidak ingin berhutang.
Misalnya untuk renovasi rumah maupun kamar mandi. Selama masih bisa dipakai, tak usah direnov. Padahal hal itu merepotkan orang lain.
Suatu hari aku mengobrol santai dengan tetanggaku, pria paruh baya seusia bapakku. Saking akrabnya kami, beliau sudah menjadi seperti bapakku. Aku banyak belajar darinya.
Berikut adalah cerita singkat kisah hidupnya, sebut saja Pak Seno. Pak Seno lahir di Gunungkidul, Jogja. Lulus SMP sekitar tahun 70-an, dia diajak kakaknya ke Salatiga untuk bekerja di sebuah kampus, posisi cleaning service atau semacamnya. Karena prosesnya lama, dia lalu mencoba mendaftar ke tempat lain.