Seratus hari adalah waktu yang panjang dalam penantian. Aku termasuk orang yang tidak sabaran. Itulah sebabnya, dari banyak pengalaman sebelumnya aku mengalami kegagalan karena disetir oleh perasaan.
Dalam masa doa pribadi ini, Yanti berpikir untuk membatasi komunikasi denganku. Tujuannya supaya hati dan pikirannya lebih murni dalam mengambil keputusan. Aku tidak setuju. Sebab justru di masa doa pribadi ini perlu berkomunikasi agar makin dibukakan tentang kepribadian serta motivasi masing-masing.
Jika tidak berkomunikasi, bagaimana mau saling mengenal? Padahal tidak tinggal satu kota. Kapan bisa bertemu lagi juga tidak tahu.
Saat menceritakan hal ini pada kakak rohaninya, Yanti justru mendapat teguran. Kakaknya itu merekomendasikan justru dalam masa doa pribadi ini harus berkomunikasi. Nah kan... Maklum lah, namanya juga belum pernah pacaran...
Maka, kami pun berusaha membangun komunikasi lebih intens. Menceritakan banyak hal tentang keluarga, pekerjaan, pelayanan, rekan kerja maupun pergumulan masing-masing. Satu demi satu, kepingan pengenalan kami satu sama lain makin dibukakan. Jarak jauh tidak menghalangi proses pengenalan. Bersyukur saat itu sudah ada teknologi panggilan video WhatsApp.
Rosmayanti Naibaho. Di awal-awal PDKT, aku tidak tahu nama lengkapnya, tidak sadar dia orang Batak. Selama kuliah, temanku orang Batak hanya hitungan jari, tidak akrab. Jadi tidak punya gambaran seperti apa orang Batak. Hanya dari kata orang, orang Batak itu galak. Kalau ngomong seperti orang marah-marah.
Syukurnya aku tidak melihat Yanti sebagai wanita yang galak. Aku bersyukur Yanti sudah banyak diubahkan karakternya saat kami bertemu---salah satunya berkat Kelompok Tumbuh Bersama. Dulunya, doi juga galak, suka marah-marah. Hal ini dipengaruhi dengan pola asuh, kebiasaan dan budaya dari keluarga asalnya. Berikut ini sudut pandang Yanti selama kami PDKT hingga berdoa pribadi.
Melihat Kris dari kejauhan di stasiun Bogor, aku merasa pangling. Dia nampak lebih tinggi dari terakhir kali aku melihatnya. Entah karena potongan rambut dan kumisnya yang rapi. Aku melihat ada aura yang berbeda. Meski begitu, aku bersikap wajar. (Cewek bisa berpura-pura nggak tahu kok, hehe)
"Halo bro, apa kabar?" Aku sengaja memanggilnya "bro" agar Kris tidak canggung. Dia pun membahas sekenanya. Nampaknya grogi. Beranjak dari stasiun, kami mampir sarapan di sebuah warung soto. Ternyata aku butuh waktu lebih lama buat ngoceh demi menjawab rasa ingin tahu Kris, dibandingkan kecepatannya memindahkan isi mangkok ke perutnya.
Selesai sarapan, Kris numpang mandi di rumah kontrakan. Lalu seharian aku mengantarnya muter-muter ke Kebun Raya Bogor (KRB). Di KRB Kris mengajak berfoto di beberapa tempat. Sorenya, saat kembali ke rumah kontrakan hujan turun sangat deras. Aku harus mengurus kolam ikan, memastikan tidak ada saluran tersumbat yang bisa menyebabkan banjir dan ikan lepas dari kolam. Sedangkan Kris menunggu di teras.