Lihat ke Halaman Asli

Kris Wantoro Sumbayak

TERVERIFIKASI

Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

Beda Adat, Siapa Takut? #7

Diperbarui: 12 Juni 2022   13:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku dan Yanti terekam dalam foto bersama | dokumentasi pribadi

Dua orang tak saling kenal tertangkap dalam suatu bingkai, dikabarkan menikah belasan tahun kemudian. Paling hanya kebetulan. But, believe it or not, aku dan Yanti pun mengalami kejadian serupa.

Memang tak sampai belasan, hanya beberapa tahun. Kami tak pernah menyangka bakal terlibat dalam kegiatan yang sama, terekam dalam foto. Kami sempat terpisah dalam perjalanan masing-masing dan kelak berpacaran. Mungkinkah kebetulan juga? Kami lebih mempercayai campur tangan Tuhan yang bisa memakai momen kebetulan untuk mempertemukan kami.

Kamp regional (kampreg) Persekutuan Mahasiswa Kristen Jawa Tengah diselenggarakan di Kaliurang, Jogja. Bulan Oktober 2012 itulah kali pertama Kris bertemu gadis Batak bernama Yanti. Masalahnya, saat itu Kris tidak menyadari bahwa ada Yanti di acara kamp. Tidak mempedulikan lebih tepatnya.

Aku sedang bergumul dengan salah seorang rekan pelayanan di Salatiga, tapi doi tidak ikut kamp. Aku tidak tertarik mengenal perempuan lain. (sombong!) Melirik pun tidak. Padahal, mengenal lawan jenis untuk berjejaring tidak masalah, bukan? Aku belum dewasa mengelola perasaan saat itu. Masih egois, labil dan rapuh.

Dalam sesi sharing dan doa kelompok, aku satu kelompok dengan Yanti, tapi Kris tidak dapat mengingat kejadian itu (baru diingatkan Yanti bertahun kemudian setelah kami berpacaran). Sudah ingatannya payah, eksklusif pula, jadi aku susah mengembangkan jejaring.

Pergumulanku dengan lawan jenis yang kudoakan saat itu cukup berat. Perbedaan karakter, pola pikir ditambah "kebutaan" menyebabkan gesekan dan memicu cek-cok. Beda tipis rasa cinta dengan amarah.

Aku berharap, doi ikut dalam kamp, sehingga bisa berjuang bersama dalam pelayanan pemuridan. Namun, bisa jadi ini hanya alibi. Sikap hatinya salah, motivasi ikut kamp juga salah. Hasrat spiritual yang terbungkus rapi dalam ego dan kementahan karakter.

Interaksi dengan peserta kamp tidak memberi kesan istimewa. Kenalan, saling tahu, sharing, dan berlalu begitu saja. Kris tidak memberi hati penuh dalam kamp. Luka hati akibat gesekan dengan doi yang aku doakan jadi penghambat. (Mungkin ini maksud orang tua, kalau belum siap jangan pacar-pacaran. Menyusahkan.) Padahal, seharusnya pemahaman dan kapasitasku ditambahkan setelah mengikuti kamp.

Beberapa hari selepas kamp, aku bertukar akun FB dengan Yanti. (Aku lupa dari mana saling mendapat kontak) Basa-basi berkirim inbox di Facebook, namun tak lama, lalu off. Kami kembali berkomunikasi saat Yanti hendak meminta foto kegiatan kamp dari pengurus PMK Salatiga. Setelah itu komunikasi tidak otomatis intens.

Namun, Sang Direktur Kehidupan terus menjalankan skenarionya. Aku berkesempatan menawarkan kaos usaha dana Natal gereja pada Yanti. Kenapa harus menawarkan pada Yanti, sedangkan banyak teman lain? Entahlah. Lalu gantian Yanti menawariku kaos usaha dana PMK kampusnya. Sebatas itulah komunikasi kami kala itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline