Seminggu menjelang lebaran, jalanan di pusat kota telah sesak. Kendaraan plat dalam dan luar kota menjejali aspal. Penjual dan pembeli saling sibuk dengan barang dagangan. Inilah tanda-tanda lebaran telah di depan mata.
Trotoar dan tepi jalan sekitar pusat kota telah berubah "warna". Apalagi H-3 lebaran. Dipenuhi pengrajin kelontong ketupat, penjual ayam dan tentu saja petasan.
Aku tidak merayakan lebaran, namun turut merasakan kemeriahannya. Lebaran kali ini terasa lebih hidup. Tidak seperti dua tahun sebelumnya, sepi. Tak ubahnya hari-hari biasanya.
Semua disebabkan pandemi Covid-19 yang mengubah banyak tatanan hidup kita, termasuk merayakan lebaran. Silaturahmi tatap muka harus ditahan demi kesehatan dan keselamatan bersama. Dua tahun berlalu, meski Covid-19 belum lenyap, kita mendapat berbagai kelonggaran untuk merayakan lebaran. Yang merantau boleh mudik. Yang mau liburan boleh. Yang mau silaturahmi bebas.
Tiap orang (keluarga) punya cara masing-masing untuk menyambut hari kemenangan setelah menjalani tiga puluh hari berpuasa. Yang pasti, perayaan itu tidak jauh-jauh dari ketupat, ayam dan petasan. Para pedagang tiga produk ini semangat meraup rezeki.
Yang pertama ketupat. Ketupat berasal dari bahasa Jawa kupat (ngaku lepat, mengaku salah). Filosofi dalam makanan nasi berbungkus anyaman janur (daun muda dari kelapa) yang dihayati umat muslim dalam merayakan lebaran. Selain bersilaturahmi dengan keluarga-kerabat, menjadi momen yang baik untuk saling bermaaf-maafan.
Bagi masyarakat pedesaan, kelontong ketupat dibuat sendiri. Janurnya juga diambil dari pohon kelapa sendiri, atau minta punya tetangga. Hampir pasti, orang kampung bisa membuat kelontong. Ayahku, meski tidak merayakan lebaran juga bisa membuat kelontong. Pernah diajari kakek yang beragama muslim.
Sedang bagi masyarakat perkotaan, kelontong harus dibeli di pasar, dijual 10 biji per ikat. Tersedia yang sudah jadi, atau bisa dibuat dadakan. Ada yang membawa janur, lalu menganyam di tempat, dibuat dadakan sesuai permintaan. Kecepatan dan kecakapan pengrajin sangat berpengaruh pada pendapatan.
Setelah menjalankan ibadah sholat ied, tibalah waktu berkunjung ke rumah tetangga dan kerabat. Biasanya dalam kunjungan ini ditawari makan ketupat-opor. Apalagi kalau di rumah kerabat, tak diizinkan pulang sebelum makan. Lagi pula siapa yang tahan dengan pesona ayam dalam lautan kuah santan bumbu kuning yang gurih dan nikmat. Jangan mengaku merayakan lebaran kalau belum makan ketupat-opor.