Lihat ke Halaman Asli

Kris Wantoro Sumbayak

TERVERIFIKASI

Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

Daging Kurban: Nikmatnya di Mulut, Setelahnya Cenat-Cenut

Diperbarui: 5 Agustus 2021   09:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi daging kurban | foto: Shutterstock via kompas.com

Selamat Hari Raya Idul Adha bagi saudara-saudaraku yang merayakan. Kiranya ibadah kita berkenan di hadapanNya.

Tahun ini, Idul Adha ditetapkan tanggal 20 Juli. Uniknya, di hari itu lingkungan tempat tinggalku tidak dilakukan pemotongan hewan kurban. Padahal tenda sudah terpasang. Mungkin dilaksanakan siang, atau sore. Pikirku saat melintas di depan masjid hendak berangkat ngantor.

Esok harinya. Panitia kurban mengumumkan melalui pengeras suara masjid, hari ini (21/7) akan dilakukan pemotongan kurban. Diharapkan hanya warga yang berkurban yang datang ke depan masjid, lokasi penyembelihan. Agar tidak menimbulkan kerumunan.

Aku salut, warga di tempat tinggalku sangat peduli dan mawas dengan upaya melawan Covid-19. Beberapa hari sebelumnya, melalui grup WA, salah satu anggota meneruskan pesan pengurus takmir. Jamaah diharapkan sholat dari rumah masing-masing, tapi juga tidak melarang. Harus tetap menjalankan protokol kesehatan. Indahnya demokrasi.

Rabu siang (21/7), baru saja masuk rumah sepulang kerja, seseorang memanggil di depan gerbang. "Mas, ini ada pembagian daging kurban." Puji Tuhan! Terima kasih saudara-saudaraku.

Aku tidak pernah mengharap dapat jatah daging, tapi kalau diberi ya tidak menolak, hehe. Istri tidak langsung mengolah si daging. Masih bingung mau diolah bagaimana. Lagi pula masih ada beberapa sayur dan lauk yang harus lebih dulu diolah sebelum rusak.

Hari berikutnya, istri mencincang sebagian daging dikombinasikan sayur. Minggu (25/7), istri membuat rendang---salah satu makanan paling nikmat bagi banyak umat. Ada setidaknya 2 kilogram daging dibagikan. Di dalamnya tentu terdapat jeroan. Terbayang kan, nikmat gurihnya...

Tapi siapa sangka, di balik berkah itu timbul masalah. Apa soal?

Ada dua potong jeroan ukuran sedang. Istri sudah mengingatkan, apakah mau dimasak sekaligus, atau disisihkan untuk lain hari. "Masak sekalian!", ujarku tanpa ragu. Kau tahu kawan, dengan menu ini siapapun rela nambah nasi.

Malamnya, si rendang tetap nikmat memanjakan lidah. Percayalah, senikmat-nikmatnya makanan, hanya berlaku di lidah. Berikutnya usus, lambung, dan hati yang mengambil alih. Bukan lagi tentang enak-tak enak, tapi cukup nutrisi atau malah berlebih.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline