Lihat ke Halaman Asli

Kris Wantoro Sumbayak

TERVERIFIKASI

Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

Kisah Surti: Kebahagiaan yang Harus Dibayar dengan Pengorbanan

Diperbarui: 26 Juli 2021   09:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Surti dan anaknya yang baru dilahirkan| foto: Sutterstock via msn.com

"Berapa pun harganya akan kubayar. Bahkan jika harus menjual kepalaku", demikian janji suci Sakri saat pertama melihat mata elok Surti di pertigaan tempat pohon mahoni besar bertengger.

***

Sejak resmi menikahi Surti, jalan hidup Sakri penuh liku. Gali tutup lubang, sudah biasa. Lapar sesekali, adalah pasti. Sampai suatu hari datanglah kebahagiaan dambaan semua makhluk.

"Kri! Sakri... Enyahlah kau dari gunungan bangkai itu! Binimu sudah mau mbrojol!", kata Darto, tetangganya sesama pekerja pabrik odol. (odol-odol sampah)

Apa...? Sekarang...? Kenapa cepat sekali??? Senang dan bingung. Bahagia dan tak berdaya. Gembira dan lara. Sumringah dan hati susah. Semua perasaan tumpang tindih bersisian bak kabel listrik merah-biru. Hadirnya anak, penerus keturunan adalah jawaban atas penantian sepanjang masa. Tapi, dari mana Sakri menghidupinya? Berapa biaya lahirannya?

Rentang hidup Sukri disebut nelangsa, kalau tak dibilang sengsara dari sononya. Waktu mau melamar kekasihnya, dia dikuliti habis dengan caci dan umpatan keluarga besar Surti, sembilan orang, semuanya lelaki. Mereka keberatan bukan karena muka Sakri yang sesak dengan brewok bak rumput gajah di musim hujan, tak lagi ketahuan letak giginya yang kuning.

Mereka kesal tanpa ampun, menyalahkan gurat nasib. Kenapa adik bontot mereka tak dipertemukan pada manusia yang meski jelek tapi kaya. Setidaknya jangan miskin. Supaya bisa sedikit mengangkat dari lumpur kemiskinan.

Miskin semiskin-miskinnya keluarga Surti. Kalau masih berlaku hukum perbudakan, mereka rela menjual salah satu anaknya demi menyambung hidup. Pahit mana dengan kenyataanmu, kawan?

"Kang Mas, aduh... Aku sudah tidak kuat Kang Mas. Berat, sakit... Dibongkar di sini saja muatan ini", erang Surti. Urat peka Sakri putus, tak mampu membedakan istrinya sedang mengeluh atau bercanda. Ia hanya sanggup menggigit lidah, menahan cairan bening membanjiri mata.

Dielus kepala istrinya dengan tangan dekil bau amis, berharap ada sinar terang dari langit. Tak lama, dari kejauhan terdengar nada cempreng rekannya, Darto. Mungkinkah dia si malaikat...?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline