Warga Indonesia gempar dengan bermacam kebijakan bidang pendidikan yang menyulitkan, khususnya orang tua. Aturan zonasi, kurikulum yang terus berganti (cuma namanya), buku paket yang dicetak ulang padahal isinya sama (biar untung percetakannya), hingga penghapusan UN.
Mendikbud Nadiem, yang diimpikan membawa transformasi besar dalam kapal pendidikan pun masih menuai kontra dengan kebijakan guru penggerak dan merdeka belajar, misalnya. Mau adem sedikit, kita kembali dibuat bingung karena Kemendikbud dihapuskan dari nomenklatur kabinet Jokowi-Maruf. Di-merger dengan kementrian lain, lebih tepatnya.
Jika ketika masih berdiri sendiri pun Kemendikbud telah menanggung banyak PR, lebih ringankah jika dilebur dengan kementrian lain?
Apa dasarnya? Presiden Jokowi ingin membentuk satu kementrian baru, Kementrian Investasi. Merger dua, buat satu yang baru. Efisien sih. Sejalan dengan langkah beliau membubarkan delapan lembaga imajiner kapan lalu. Makin ramping, makin gesit, katanya.
Kemarin (28/04), di istana negara Jokowi melantik tiga orang pejabat, dua di kementrian, lainnya non kementrian. Langkah ini setelah mendapat persetujuan dari DPR.
Lantas, bagaimana nasib pendidikan kita?
Nadiem: Riset dan teknologi dekat dengan saya. Pakem. Tak diragukan. Tapi, menahkodai kementrian tak sefleksibel mengendarai Gojek. Harus berkoordinasi lintas kementrian, belum kalau ada yang tak suka dengan produk Nadiem.
Ibarat kata, dua tangan Nadiem harus memanggul dua kuk sekaligus, pendidikan-kebudayaan dan riset-teknologi.
Sekali lagi, Jokowi tidak salah orang. Nadiem punya kapasitas itu. Masalahnya, siapkah motor pendukungnya menyejajari langkah Nadiem? Belum tentu.
Banyak rantai birokrasi, kepentingan, dan tetek bengek di dua kementrian lama yang kudu diringkas, dirampingkan, agar gesit ke depan, dengan sisa waktu tak lebih dari tiga tahun (berakhir 2024).