Lihat ke Halaman Asli

Kraiswan

TERVERIFIKASI

Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

Filosofi Mencuci Piring-Gelas

Diperbarui: 8 Mei 2020   19:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi mencuci gelas piring, foto: dokpri

Mencuci piring adalah kegiatan yang tak bisa disepelekan. Buktinya, sabunnya saja diiklankan. "Bersih bersinar, sun*****!" Itulah kekuatan bahasa iklan. Mana ada sabun yang bisa bikin bersinar, sedang PLN sebagai payung nasional kelistrikan saja bersinar-nya masih bergilir. #oops

Ngomong-ngomong tentang mencuci piring, saya ada sedikit pengalaman. Semasa kuliah, saya nyambi part time di sebuah warung internet yang ada game online-nya. Sekedar buat menyambung perjalanan (baca: mengisi bensin). Lowongan yang tersedia waiters, tugas utamanya tentu saja mengantarkan mi+telur dan/atau es teh untuk penggila game. Rupanya piring-gelas kotor juga menjadi urusan saya.

Waktu berikutnya saya mbabu di suatu kedai kopi. Dari tempatnya, sedikit prestisius dong. Naik kelas. Padahal hobinya sama: cuci piring-gelas juga, hehe. Bahkan sampai saya lulus dan bekerja, saya lekat dengan aktivitas ini. Lama saya merenung, kenapa di banyak tempat dan waktu, kita harus mencuci piring gelas ya? Saya rumuskan ada beberapa mutiara di baliknya.

 

Masih ada kehidupan

Bahwa apa yang dipakai hari ini sebagai wadah, harus dicuci agar nanti sore atau esok bisa dipakai lagi. Ada harapan bahwa kehidupan masih berlanjut. Memancar asa bahwa Sang Khalik masih memberikan kesempatan bernafas, menjelajah hari esok meski #dirumahaja.

Dari sudut sebaliknya, mencuci jadi peringatan. Jika tidak dilakukan nanti makannya dengan tempat kotor, atau berkutat bau "sedap" karena sisa makanan mulai busuk.

Pekerjaan murah, tapi tidak rendahan

Jika suatu tempat makan atau industri makanan dikatakan sukses, jangan hanya dilihat pelayan yang berpakaian rapi mencatat pesanan lalu menghidangkan ke meja anda. Atau tangan dingin sang koki yang mahir meracik bumbu dalam wajan yang digoyang-goyang dan diadu dengan spatula. Mereka ahli, sepakat. Tapi semakin ramai suatu tempat, makin "pemain belakang" dituntut kerja lebih keras. Tanpa pemain belakang ini, keahlian pelayan dan koki sekali pun tak berarti.

Keringat diperas sampai tuntas, upahnya tak selalu membebaskan dari kantong kering. Paling hanya cukup kalau tidak pas-pasan. Maka janganlah kita merendahkan pekerjaan mencuci piring-gelas atau pekerjaan murah lainnya yang memang mengandalkan tenaga bagaikan kuda. Tanpa mereka, meja pelanggan bakal kosong, tidak ada wadah yang siap untuk penyajian.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline