Lihat ke Halaman Asli

Kris Wantoro Sumbayak

TERVERIFIKASI

Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

Ulasan Buku "Cinta yang Berpikir"

Diperbarui: 20 Februari 2020   00:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

via infed.org

Charlotte Mason lahir di Inggris pada 1842 dari seorang ayah lanjut usia dan ibu yang sakit-sakitan. Menjadi yatim piatu di usia enam belas tahun, Charlotte muda masuk ke sekolah keguruan. Setelah lulus, dia menjadi kepala sekolah taman kanak-kanak di suatu desa. 

Meskipun fisiknya lemah, Charlotte adalah pekerja keras. Performanya cemerlang. Dia gemar membaca, merenung, dan menulis. Karya-karya para filsuf, ilmuwan, dan pemikir pendidikan dilahapnya dengan antusias. Pada usia 22 tahun, dia sudah merintis pendirian sekolah lanjutan atas bagi remaja putri.

Seumur hidup, Charlotte melajang--keputusan umum di kalangan perempuan akademisi masa itu. Namun, sepak terjang di dunia pendidikan serta ketajaman benaknya membuat para orang tua terkagum saat dia memberi kuliah tentang pengasuhan dan pendidikan anak. Materi kuliahnya lantas dibukukan dalam Home Education (1886).

Tahun 1891 Charlotte pindah ke Ambleside dan mendirikan sekolah gurunya sendiri, House of Education. Di sebelahnya, didirikan pula Parents' Union School, sekolah gratis tempat para calon guru didikan Charlotte bisa praktik mengajar. Metode pendidikannya sangat ramah anak: jam belajar singkat, tanpa drill atau hafalan garing, mata pelajaran bervariasi, tidak ada PR, tidak ada sistem rangking, banyak kegiatan hands on serta apresiasi seni dan budaya, serta jadwal teratur menjelajah alam dan bermain bebas.*

Anak-anak terlahir sebagai pribadi utuh---mereka bukan lembaran kosong atau embrio yang baru berpotensi menjadi pribadi utuh. Mereka adalah pribadi utuh. -- Charlotte Mason

Ellen Kristi merangkum prinsip Charlotte Mason (CM) ke dalam tiga bab, yaitu filosofi, kurikulum dan komparasi CM dengan metode lain. Satu yang menarik adalah tentang Living Books di bab kurikulum.

Anak-anak perlu mendapat pustaka yang inspiratif. Buku yang terbaik bagi anak berarti tidak kurang dari "terbagus". Di dalam living books ada berlimpah ide berharga yang menggerakkan anak untuk mengingat, merenungkan atau memvisualisasikannya. Ide-idenya menggugah, membangun kepribadian anak secara positif, dituturkan dalam bahasa yang indah dan biasanya naratif. Kebalikan dari living books adalah karya picisan (bermutu rendah). Jangan biarkan anak-anak kita hanya melahap karya picisan.

Menjadi masalah saat orang tua di Indonesia sendiri malas membaca. Jangan berharap anak bertambah kapasitas karena mereka mewarisi kemalasan orang tua. Wajar jika bangsa kita mendapat peringkat terrendah dalam literasi. Sudah begitu, didukung fakta bahwa orang Indonesia gemar memproduksi dan menyebarkan berita bohong.

Sistem pendidikan di negara kita masih terbilang payah. Bukan karena disandingkan dengan negara semaju Jepang, Finlandia atau bahkan negara tetangga---Singapura. Melainkan karena, pada faktanya, sistem yang berlaku demikian kaku dan sempit, tak mampu mengakomodir semua jenis kecerdasan anak. Kabar baiknya, Indonesia tak sendiri. Dunia wajib berterima kasih pada anak yang di'bodoh'kan oleh sistem pendidikan formal, yang olehnya semua manusia di bumi menikmati terang di malam hari akibat teknologi bohlam.

Menjadi orang tua itu susah. Kalau sekedar punya anak perkara gampang. Apakah orang dewasa siap memiliki anak? Jika masih menyimpan akar pahit, trauma dan dendam di masa kecil, emosinya mudah meledak-ledak, dan berkata kasar, jika masih mengalami gangguan mental; pikirkan lagi apakah orang tersebut mampu membesarkan anak dengan pengertian dan dukungan emosional yang cukup?

Pasangan suami istri harus menyiapkan diri sebaik-baiknya untuk mengemban "profesi terpenting di dunia", pesan Charlotte, yaitu menjadi orang tua. Tidak perlu menunggu sampai sempurna juga. Poinnya, menjadi orang tua jangan mengandalkan impuls alamiah. Dibutuhkan lebih dari dorongan cinta yang emosional, melainkan kemampuan berpikir untuk menunaikan tugas ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline