Tradisi di keluarga kami, biasa nya kalau lebaran semuanya kumpul di Bogor, tepat nya di desa Cimanggu, sebuah desa yang asri di kabupaten Bogor Barat.
Orang tuaku membeli sebuah rumah atau tepat nya sebuah gubuk di kaki pegunungan. Rumah yang kecil dan asri, di depannya terhampar empang-empang, kemudian persawahan-persawahan dan kalau cuaca lagi cerah, beruntung dari teras rumah kita bisa melihat dengan jelas deretan pegunungan yang indah.
Kami, anak-anaknya biasa menyebut rumah itu dengan "rumah Bogor".
Rumah tersebut biasa nya ditempati oleh nenek dari ibuku, setelah nenek meninggal nyaris rumah tersebut sering kosong tak berpenghuni. Paman yang bertugas untuk menjaga, membersihkan dan merawat rumah itu karena tempat tinggalnya berdekatan. Jadi "rumah Bogor" hanya ramai jika lebaran tiba, sebelum dan setelah lebaran, rumah itu kosong lagi.
Biasa nya setelah sholat Ied, kami sekeluarga berangkat ke bogor bersama-sama. Waktu berlalu dari tahun ke tahun tanpa terasa semua anak-anaknya kini sudah berkeluarga dan tinggal bersama istri dan suami nya serta anak-anaknya masing-masing. Tapi tradisi kumpul bersama saat lebaran tidak pernah hilang, bahkan rasa nya gak syah kalau lebaran gak kumpul bersama orang tua.
Lebaran tahun lalu, Ibu dan ayahku berangkat dari Jakarta. Sementara kami anak-anaknya berangkat dari tempat tinggalnya masing-masing, ada yang dari Tangerang, Parung, Ciputat, Bekasi, Cikarang dan Depok. Satu demi satu kami mulai berdatangan. Suasana keakraban dan senda gurau nampak begitu kental. Disela-sela keramaian kami, Ayah pernah berucap kalau dia sudah tiada, agar tradisi kumpul bersama jangan sampai punah, jadikanlah "rumah Bogor" sebagai tempat kumpul kalian semua dan janganlah "rumah bogor" ini sampai di jual karena rumah ini adalah sebagai simbol pemersatu persaudaraan kalian, begitu pesan Ayah pada kami semua.
Pesan itu rupanya menjadi pesan terakhir dari Ayah. Setelah sakit-sakitan dan di rawat di rumah sakit, Ayah menghentikan segala aktifitasnya di Jakarta. Bersama Ibu, Ayah beristirahat panjang di "rumah Bogor", kami anak-anaknya bergantian mengunjungi Ayah, sampai akhirnya Ayah menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Setelah di tinggal Ayah, Ibu lebih memilih untuk tinggal di "rumah Bogor" dengan alasan untuk lebih dekat dengan makam Ayah sehingga memudahkannya untuk sering-sering mengunjungi dan merawat makam ayah. Beberapa dari kami, anaknya, menawarkan Ibu untuk tinggal bersama kami agar Ibu tidak kesepian, Ibu cuma bilang, "kasihan Ayah, kalau ditinggal sendiri... ." Duh, Ibu ... begitu sayangnya ia sama Ayah.
Seperti biasa pada saat lebaran tahun ini, kami semua anak-anaknya bersama keluarga masing-masing mengunjungi Ibu sekaligus meneruskan tradisi kumpul bersama di "rumah Bogor". Lebaran tahun ini terasa ada yang berbeda, cerewet dan bawelnya Ayah sudah gak ada lagi. Terselip juga rasa kangen kami pada sosok Ayah, yang sering merasa cemas dan khawatir yang berlebihan kepada kami anak-anaknya semua, mungkin ayah lupa masih menganggap kami semua sebagai anak kecil saja padahal kami semua telah berkeluarga dan telah menjadi orang tua juga. Atau, semua orang tua di dunia selalu begitu terhadap anak-anaknya karena sifat kasih sayangnya sebagai orang tua.
Ibu kadang masih suka terisak saat kami bercerita tentang sosok Ayah yang membuat kami semua begitu bangga. Setelah ibu bisa meredakan kesedihannya, ia selalu mengingatkan kami semua akan pesan terakhir Ayah agar "rumah Bogor" dijadikan tempat kumpul kami semua walaupun bisanya cuma setahun sekali, pas saat lebaran saja. Semua itu dimaksudkan agar persaudaraan kami semua langgeng sampai anak cucu kami.
Yang membuatku menitikkan air mata adalah kata-kata Ibu padaku, sewaktu kami ngobrol berdua saja di teras rumah, "Lebaran tahun depan, tradisi kumpul bersama harus tetap ada, nak ... walaupun tahun depan mungkin Ibu sudah gak ada, menyusul Ayahmu ... ." Airmata nampak menggenang di mata ibu, ia tak mampu meneruskan kata-katanya lagi. Ku genggam tangan ibu erat sambil mataku pun berkaca-kaca.