[Catatan Pinggir Pilkada Serentak 2018] - Janji kampanye adalah sebuah kemasan bahasa untuk menyampaikan pesan kampanye kandidat kepada calon pemilih. Kandidat seakan berada dalam persimpangan jalan yang cukup dilematis: antara mengemas pesan kampanye yang mudah dipahami, dengan gaya kampanye populis dan gaya kampanye programatik, yang berisiko sulit dipahami calon pemilih di segala lapisan. Seringkali kandidat terjerumus dalam praktik "janji kampanye bombastis" yang ia sendiri sulit memenuhinya setelah terpilih. Tulisan ini mencoba mengakurkan perbedaan cara pandang atau tafsir janji kampanye dalam pandangan kandidat dan dalam pandangan masyarakat pemilih, sekaligus menjembatani kegalauan kandidat terpilih dan kegalauan masyarakat pemilih: pemenuhan janji kampanye dan penjagaan citra populisnya (pilihan rasional kandidat) tanpa mencederai harapan dan kepentingan masyarakat pemilihnya.
Jelang pilkada serentak 2018 yang bakal diikuti oleh 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten telah menyibukkan elemen-elemen terkait dalam skala masif. Partai mulai sibuk penjajagan koalisi dan tawar-menawar pengajuan pasangan calon, menunggu rekom dari pengurus pusat, bakal calon merapat dan mendaftar ke partai sambil meng-"kampanye"-kan diri melalui alat peraga maupun mendekati calon pemilih dengan berbagai modus. Para pemain politik di luar peserta pilkada pun mulai ancang-ancang.
Sementara masyarakat calon pemilih, yang telah terlatih di beberapa kali pemilu dan pilkada, masih tampak adem ayem karena "sekarang belum saatnya" tawar-menawar dukungan politik dengan slogan sakti "vox populi vox dei" (suara rakyat suara Tuhan): tanpa kami, kalian bukan apa-apa. Inilah power laten pemilih yang membuat kandidat harap-harap cemas, sehingga harus mengeluarkan jurus kampanye yang selaras dengan selera masyarakat pemilih untuk merebut hati calon pemilih. Muncullah "janji kampanye" yang kelak menuai tagihan publik yang bisa membawa sang kandidat terpilih dalam dua pilihan: mampu memenuhi yang berujung tabungan politik positif; ataukah kesulitan memenuhi dengan konsekuensi tabungan politik negatif.
Dua kemungkinan ini terkait dengan strategi penyampaian pesan kampanye: mudah dipahami calon pemilih dari segala lapisan ataukah sulit dipahami. Janji kampanye inilah yang sering mengalami tafsir berbeda antara kandidat dan pemilih.
Nah, di sinilah saya mencoba menjembatani "tafsir dua dunia" ini dengan membatasi pada fenomena "janji kampanye" sebagai strategi penyampaian pesan kampanye, bukan sebagai faktor determinan pemenangan kandidat. Eskalasi masif pilkada serentak berpotensi memicu kehebohan publik dalam waktu bersamaan terkait tafsir atas janji kampanye ini.
Kampanye Populis vs Programatik
Dalam benak masyarakat, kepala daerah yang baik dan disukai, adalah yang memberi kemanfaatan dengan ukuran kedermawanan. Pendidikan gratis, kesehatan gratis, akses lapangan kerja, bantuan untuk warga miskin, dan sejenisnya akan menjadi harapan masyarakat umum, dan bisa menjelma menjadi isu populis dalam kampanye kandidat yang dipadu dengan atribut kesalehan dan kedermawanan sosial, baik hati, suka menolong dan merakyat. Isu tersebut menjadi sangat seksi dalam kampanye kandidat. Dan agar mudah dipahami oleh masyarakat dari semua lapisan, strategi kampanye dikemas dalam bahasa sederhana yang memudahkan pemahaman segala kalangan. Di sinilah terjadi dilema antara kampanye populis dan programatik.
Kampanye populis meletakkan pesan politiknya dalam "narasi awam", membonceng alur pemahaman masyarakat umum yang membingkai penyampaian program secara lisan dan tulisan hingga atribut dan kegiatan yang "bernuansa kerakyatan". Pernyataan dan bahasa program yang dikampanyekan pun dikemas dalam bahasa yang mudah dipahami siapapun dan tentunya dibuat menarik, sehingga muncullah bahasa kampanye yang tampak "memenuhi hajat hidup orang banyak" dan sangat menjanjikan. Yang penting klik di otak pemilih.
Keunggulan strategi populis yang pas dengan selera pasar, tidak selalu mulus untuk dibahasa-program-kan dalam implementasi karena berkaitan dengan variabel teknis birokratis semisal anggaran, prioritas, keterkaitan dengan program terdahulu hingga administrasi dan aparatus birokrasi. Ini belum memperhitungkan perubahan orientasi sang kandidat ketika jabatan diraih.
Sedangkan kampanye programatik berorientasi ekspos program, lebih membutuhkan pendekatan edukatif publik dalam penyampaiannya, berisiko untuk tidak mudah dipahami masyarakat dari segala lapisan sehingga rawan tidak nyambung. Meski dikemas dengan "bahasa rakyat", terakhir jatuhnya tetap pada gaya populis atau semi populis juga.
Contoh, mengkampanyekan program kesehatan murah akan lebih klik di masyarakat dengan membuka posko pengobatan gratis ketimbang memberi penjelasan tentang program kesehatan. Masyarakat lebih akrab dengan aksi nyata dengan manfaat langsung dengan persepsi peduli rakyat disertai harapan berkelanjutan ketika menjabat. Konten visual dan yang dapat dirasakan akan lebih mudah ditangkap otak ketimbang konten verbal yang memerlukan pemahaman ekstra. Orang akan mudah berkesimpulan:"Jika saat kampanye sudah begini, nanti pasti akan lebih mantap". Kira-kira demikianlah suara hati masyarakat. Jurus kampanye populis terbukti ampuh menjadi "kata pengantar" dalam pemenangan banyak kepala daerah.