Lihat ke Halaman Asli

Wahyu Aning Tias

Manusia yang mempercayai menulis untuk menyembuhkan

Bapak Tua dan Secangkir Teh

Diperbarui: 16 Maret 2017   08:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Siang itu aku merasa sebagai siang yang paling panas dalam musim kemarau tahun ini. Aku mengayuh sepedaku dengan perlahan, kelelahan dan kehausan menderaku. Di tengah perjalanan saat aku melewati pusat jajanan di sekitar alun-alun kota, sebuah pemandangan menarik menggelitik rasa ingin tahuku. Diantara jajaran para pedagang makanan dan minuman terdapat sebuah kedai teh yang mungil berdinding anyaman bambu, diatasnya bertuliskan ‘Kedai Teh’. Sepertinya baru saja dibuka karena aku biasa lewat sini dan tidak pernah mendapati kedai mungil itu sebelumnya. Akhirnya, kuputuskan untuk memarkir sepedaku di depan kedai dan masuk ke dalam, mungkin segelas es teh akan membantu meringankan rasa hausku.

“Selamat siang, Nak! Silakan duduk.” Seorang Bapak Tua, mungkin berusia sekitar enam puluh tahunan menyapaku dengan sangat ramah.

“Terima kasih, Pak.”

“Panggil saja Kakek. Mau memesan apa?”

“Saya mau segelas es teh.”

“Baiklah. Silakan duduk.”

Setelah memilih tempat duduk, kuedarkan pandanganku sesaat ke seluruh ruangan. Memang dari luar nampak biasa saja, tetapi desain interior kedai ini sungguh luar biasa, ada beberapa lukisan yang kukenal seperti lukisan Da Vinci, Rembrandt, Affandi yang dipajang bersama sederetan lukisan dan tembikar khas Asia Timur. Aku begitu takjub hingga tanpa sadar aku berjalan mengelilingi seluruh ruangan untuk menikmati keindahan lukisan-lukisan yang dipajang. Menyentuh beberapa patung dan guci. Entah kenapa Aku merasa sangat senang, seolah mengelilingi sebuah miniature museum seni.

“Kamu suka lukisan?” tanya Pak Tua itu begitu datang dengan nampan di tangannya. Rupanya beliau memperhatikanku.

“Eh, iya. Kebetulan saya sangat suka melukis, jadi saya menyukai lukisan.” Jawabku agak gugup. Aku belum terbiasa dengan keramahan pelayan, setahuku dimanapun aku bertemu pelayan mereka tidak pernah peduli pada apapun kecuali pesananku. Lalu Bapak itu meletakkan secangkir teh, gula, es batu di hadapanku.

“Maaf. Kami tidak punya gelas, jadi tehnya saya tuang ke dalam cangkir. Ini es-nya Kakek pisahkan supaya tidak tumpah.”

Aku meringis, kakek ini rupanya memiliki kedai yang unik. Tidak ada gelas, tidak ada es. Mungkin dia bermaksud untuk mengusung gaya tradisional yang konvensional, begitu pikirku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline