Lihat ke Halaman Asli

Wati, Siswa yang Berhasil Dalam Pendidikan Hidup

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Wati marah-marah membanting pintu dengan keras, mengagetkan seisi penghuni rumah. Rumah yang berada di lingkungan perumhan sederahan ini makin riuh dengan teriakan ibu dari dapur yang sedang menggoreng tempe dan telur untuk sarapan pagi ini. Kemarahan Wati sedemikian besar, nomornya tidak tercantum di daftar anak yang diterima di SIMAK UI. Kemarahan tersebut hanyalah wujud kesedihan dari perjuangannya selama 3 tahun ini. Wati ingat, ketika dia berjanji sama ibu untuk belajar giat untuk menjadi seorang dokter, harapan keluarga. Kematian ayah karena paru-paru basah tidak tertolong oleh puskesmas kelurahan. Saat itulah dia berjanji untuk menjadi dokter untuk keluarga dan lingkungannya.

Ibu menggantikan tugas ayah, berjualan nasi uduk di depan ruimah. Lima mulut harus dipenuhi oleh penghasilan dari berjualan nasi uduk tersebut. Berjalan kaki ke sekolah, berangkat pagi sekali,menempuh jarak kurang lebih 3 km, tidak lah menjadi halangan buatnya. Agar ibu tidak sia-sia mendidik dan membesarkannku. Itu kalimat yang selalu menjadi inspirasi Wati. Di sekolah Wati juga bukan termasuk anak yang pandai, nilainya rata-rata. Apalagi, wati tidak seperti teman-temannya yang mampu pergi ke bimbingn belajar atau kursus bahasa Inggris. Uang sekolah terbayarkan setelah lewat 3 bulan dari yang semestinya. Tapi tekadnya bulat. Negeri ini tidak pernah menelantarkan anak bangsa, apalagi anak yang mau membangun negeri.

Sepulang sekolah Wati harus membantu adik-adiknya, belajar atau pun membantu membersihkan rumah. Setrika baju dia lakukan 2 hari sekali, itu pun jika ada tetangga yang meminta menyucikan baju. Sehingga biaya pengeluaranb listrik dapat dihemat. Jangan salah, yang disterika hanya baju sekolah. Ibu amat mengajarkan, untuk tetap berpakain rapi dan bersih ke sekolah.

Sehabis maghrib, Wati belajar di kamar yang bersisikan 3 adiknya. Cukup ribut rasanya ada 3 anak yang sekolah dan satu bocah yang mengganggu terus. Tapi Wati rela menjalaninya. Ini jalan hidupnya, takdirnya,.... nikmati dengan rasa syukur.

Tetapi hari itu Tuhan mengujinya dengan sebuah pengadilan, namanya tidak ada diantara anak-anak yang diterima di UI. Kemarahannya memang tampak, tetapi saat dia mendengar "teriakan" ibu dari dapur, sadarlah dia UI bukan segala-galanya. Karunia kesehatan, hidup, keimanan, dan tetap berjuang adalah yang Allah tidak berikan kepada semua makhluk. Keterbatasan yang ada justru membuat Wati semakin sadar, jika nanti harus kuliah di Pendidikan Dokter UI, berapa uang yang harus ibu persiapkan ? Jalan pasti ada, membahagian orang tua adalah kewajiban, tetapi orang tua tidka pernah menuntut hal itu. Mereka hanya ingin kita bahagia saat hidup. Sehingga Orang tua kita akan berkata di hatinya : terima kasih Tuhan telah menganugerahkan hamba anak-anak yang sehat dan menghormati orang tua, dan saya bersyukur atas kepercayaan Mu untuk mendidik dan membesarkannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline